Credit here |
Masih ada yang menggerutu tentang pekerjaannya saat ini?
Capek, teman kantor yang nggak oke, bos yang galak, atau kalau punya usaha,
sepinya order, ditipu orang dan lain sebagainya.
Saya ingin mengajak melihat beberapa fenomena yang ada di
sekitar. Fenomena yang harusnya membuat kita mensyukuri apapun yang bisa kita
lakukan (yang bisa jadi tidak bisa orang lain lakukan). Setiap senin sore saya
selalu melewati satu ruas jalan yang sama. Jalan gambir, kalau masih ada yang tidak
tahu, arah ke utara dari fakultas teknik Universitas Negeri Yogyakarta. Setiap
senin sore itu pula, Allah menampar saya. Ada seorang bapak yang sudah berumur.
Sudah tua dan bungkuk, sedang menunggui jualannya berupa mainan tradisional.
Mainan yang tidak semua anak suka, apalagi di era generasi gadget seperti ini.
Kedua, di sekitar ruas jalan yang sama, saya beberapa kali
menemui bapak (kalau tidak boleh disebut kakek) sedang mendorong keranjangnya
yang berisi penuh celengan dari tanah berbentuk kuda-kudaan, ayam-ayaman dan
sejenisnya. Si bapak ini beberapa kali menjajakan jualannya di sekitaran kampus.
Ketiga, ada seorang bapak yang atas ijin Allah dibuat
istimewa (tidak bisa melihat), pada hari-hari terentu dia akan menjajakan
jualannya berupa keset, sulak (kemoceng), kain lap dan sejenisnya di sekitaran
masjid kampus UGM.
Keempat, bagi yang domisili di Jogja coba sekali-sekali saat
pagi hari, belanja di pasar demangan.
Setelah belanja sempatkan untuk lewat di dekat bak sampah (sebuah kotak
besar dari semen) yang ada di pojok
depan pasar. Disana akan ditemui seorang bapak yang duduk di antara tumpukan
sampah sambil memilah-milah sampah. Mana yang bisa dijual kembali dan mana yang
tidak. Inilah kenapa buat para mbak-mbak dan ibu-ibu, kalau buang (maaf)
pembalut tolong lebih hati-hati.
Kelima, ahh rasanya saya nyaris tidak sanggup menuliskannya,
setiap sore (akhir-akhir ini tidak ada) ada sepasang suami istri (sudah
berumur) menjajakan topi anyaman. Jangan pikirkan seperti topi anyaman yang
untuk di pantai. Dan beberapa kali saya lihat, jualannya tidak kunjung
berkurang banyak.
Pernah saya berpikir dan mungkin banyak orang lain yang
berpikir serupa, kenapa sih
bapak-bapak itu tidak berjualan yang mudah habis atau minimal yang ‘lebih
modern’. Kan kalau mudah habis orang akan beli lagi, misalnya makanan. Lha
kalau yang dijual celengan kuda-kudaan, atau mainan, kan nggak mungkin setiap
hari beli. Nggak mungkin kan dalam satu hari celengannya penuh.
Namun, kemudian saya berpikir bagaimana kalau memang hanya
itu keahlian yang mereka punya. Membuat celengan dari tanah, merangkai
bilah-bilah bambu untuk membuat mainan, menganyam rotan untuk membuat topi dan
lain-lain.
Ada satu hal yang harus segera kita syukuri, kemampuan untuk
bertahan hidup. Kemampuan yang atas ijin Allah menempel pada diri kita. Bisa
menulis, mengajar, ilmu kedokteran, ilmu tentang bumi (perminyakan, geologi,
geografi dll), kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik, kemampuan marketing
yang mudah diterima dan lain sebagainya. Bisa dibayangkan kalau tetiba Allah
membalik semuanya? Ilmu-ilmu yang kita miliki berpindah tubuh ke orang lain
misalnya.
Itulah kenapa ada hak orang lain dari harta kita.
Zink!! Ini kenap tetiba saya jadi begitu serius begini ya,
Oh no, kotak tertawa, mana kotak tertawa.
Sije
Tidak ada komentar:
Write Comment