Credit here |
Oke, bosen baca-baca berita
pilkada mulu, sekali-kali bikin tulisan kayak gini. Akhir-akhir ini saya sering
menemukan gerakan bully Jomblo. Baik itu di iklan TV, Instagram, FB, dll. Jadi
merasa terusik aja. Buka apa-apa. Hanya saja, apa yang mereka lakukan tidak
berimbang. Bukan mengajak ke arah yang lebih baik, tapi sebaliknya.
Satu sisi banyak masyarakat yang
menganggap kalau jomblo itu aib. Okelah, siapa sih yang mau hidup sendiri?
Rosul aja berkeluarga. Tapi apa iya selamanya jomblo itu aib? Mari kita bahas.
Gerakan bully jomblo ini secara tidak sadar tersebar begitu cepat.
Sasarannya siapa? Yap, remaja! Bukan mereka yang sudah siap tidak
menjomblo. Kalimat yang terakhir tidak akan saya bahas.
Remaja kita mamen yang
terpapar bully-an ini. Akibatnya banyak remaja kita yang merasa jomblo itu aib.
Saya pernah bertemu remaja umur 15 tahun yang galau tingkat dewa gegara merasa
dia nggak laku. Segitunya banget gitu. Payahnya lagi, saat saya berkesempatan
ngobrol dengan siswa di sebuah sekolah ternama di Yogya dan saya menceritakan
hal ini, mereka bilang, “ya wajar kan mbak kalau dia merasa nggak laku.” Duh,
pengen pingsan.
Kenapa gerakan Bully jomblo ini harus disudahi?
Fenomena yang kemudian hadir di
remaja kita adalah Bully jomblo yang tidak punya pacar. See? Kemana arahnya?
Susah payah kita mengajarkan pendidikan karakter (duh opo iki), hasilnya zonk
hanya gegara gerakan tidak mutu ini. Remaja kita digiring kepada pemahaman,
bahwa tidak punya pacar itu aib. Kalau malem minggu dirumah saja itu mengenaskan.
Bukan hanya sekedar jomblo itu aib.
Lalu dimana keinginan untuk
berprestasi itu diletakkan? Ketika semua media sosial menuju kearah yang sama?
Jadi ingat grup JV (justice
voice), terakhir sepanggung dengan mereka tahun 2013 silam. Save our masjid,
keep our heart and also selamatkan generasi ini.
-Catatan random untuk memantik
ide selanjutnya-
Sije
Tidak ada komentar:
Write Comment