Credit here |
Jengah…banget…sumpeh deh.
Setiap kali bertemu dengan
teman-teman, apakah itu di FB, di LSM, di kost dan di berbagai tempat yang
lainnya, selalu dan selalu saja yang menjadi topik utama adalah tentang
pernikahan. Apakah itu tetang yang belum siap nikah, tentang yang ingin segera
menikah, tentang yang belum dapat ijin menikah, hingga yang sudah menyebar
undangan. Bahasan itu menjadi bahasan yang laris manis diminati banyak orang.
Bukan pada titik ini
permasalahannya. Bukan pada apa yang dibahas, sesungguhnya pernikahan merupakan
bahasan yang memang harus dibahas. Sesuatu yang penting untuk dipersiapkan.
Hanya saja, tentu kita punya saat yang tepat untuk membahas itu semua. Bukan
disetiap saat membahas itu. Pernikahan yang awalnya merupakan sesuatu yang sakral dan spesial, kini menjadi sebuah
bahasan yang remeh temeh. Pernikahan akhirnya dihubungkan dengan sesuatu yang
bersifat “galau”. Galau karena sudah berkeinginan untuk menikah tapi kondisi
mental belum siap. Galau karena orang tua masih belum mengijinkan untuk
menggenapkan separuh dien. Galau karena si akhwat yang menjadi target incaran
tak kunjung faham akan perhatian-perhatian yang diberikan. Galau karena kantong
tak cukup tebal untuk memulai sebuah kehidupan bersama, disaat sudah siap,
eh..malahan akhwat yang dituju sudah ada digenggaman ikhwan yang lain (kasihan…hehehehehe).
Bagi akhwat, galau karena sampai
sekarang belum ada satu pun cowok yang mulai menaruh perhatian. Galau karena
orang tua mensyaratkan lulus sebagai pintu gerbang ijin menikah. Galau karena
ada ikhwan yang diam-diam mengagumi. Galau karena belum punya cukup ilmu untuk
menjadi seorang ibu. Galau karena teman-teman seangkatan sudah banyak yang
menikah bahkan sudah punya momongan.
Masih banyak lagi galau-galau yang lain yang dihubungkan dengan seputar
dunia pernikahan. Hingga akhirnya tema pernikahan kini bukan lagi menjadi tema
yang spesial untuk dipelajari. Tetapi menjadi tema yang membuat galau.
Sekali lagi bukan permasalahan
tema nikahnya. Tetapi lebih kepada kita yang menyikapi. Umur dijadikan sebagai
sebuah patokan untuk menikah, padahal sikap saja masih suka menggalau gak
jelas. Umur kepala dua dianggap sudah mulai waktunya untuk mempersiapkan
sesuatu yang namanya nikah. Padahal kalau kita menilik sejarah, pada zaman rosul
dan para sahabat, para pemuda menikah pada umur dibawah 20 tahun. Bukan diatas
20 tahun. Hal itu sudah menjadi bukti bahwa yang namanya umur bukan merupakan
patokan akan kesiapan seseorang.
Saat umur dijadikan patokan,
hasilnya saat umur mendekati umur 20 tahun hingga 25 tahun (kebanyakan), sifat
asli mulai tampak. Kesiapan berbanding terbalik dengan keinginan. Tidak siap
untuk menikah, tapi keinginan menggebu-gebu. Bukan semata karena kebutuhan (psikis,
biologis dll), tapi karena nafsu, karena teman-teman yang sepantaran sudah
mulai banyak menikah. Bukan kebaikan tentu saja yang didapat. FB yang
seharusnya bisa dijadikan sebuah ladang dakwah, kini menjadi ladang menggalau.
Menggeluh di wall, puisi-puisi picisan muncul berderet menjadi status.
Bagi yang ikhwan atau putra,
perhatian di obral kebanyak orang, bagi yang tidak hati-hati, akan menjadi
target. Bagi akhwat, perhatian dari manapun ditampung sebanyak-banyaknya.
Akhirnya timbullah fitnah. Oh…no.
Kenapa sih harus menunjukkan
kegalauan kepada semua orang? Apakah penting? Apakah kita merasa sebegitu
tenarnya hingga akhirnya kita merasa perlu untuk orang lain tahu bahwa kita
sedang berada pada titik dimana kita sedang butuh seseorang. Obrolan dimana-mana
menjadi obrolan yang remeh temeh tidak jelas arahnya. Tentu kita semua masih cukup sadar bahwa
semakin kita membuka akses maka akan semakin banyak orang yang tahu serapuh apa
kita.
Dalam beberapa obrolan, seorang
teman akhwat sampai mengeluarkan uneg-unegnya,
“kenapa sih status-status ikhwan
di FB sekarang pada GJ, yang cinta lah, yang nikah lah. Haish…umat in bukan
hanya sekedar itu. Masih banyak permasalahan umat yang harus diselesaikan. Mbok
iya kalau mau nikah mah nikah aja. Temui ustadz kalau belum punya calon, minta
dicarikan. Kalau sudah ada akhwat yang dianggap baik, dan si akhwat sudah siap,
ya sudah di khitbah aja. Dari pada setiap hari mengembangbiakan kegalauan.
Emang ternak galau itu bikin kaya ya?” dengan ekspresi kekesalan.
Sije hanya bisa tertawa. Bukan
karena apapun, karena sije juga tidak tahu bagaimana cara mengatasinya.
Memang sudah waktunya kita untuk
meletakkan mana masalah yang layak untuk dibahas dan mana masalah yang tidak
layak untuk di obrolkan. Mengembalikan sesuatu pada tempat yang jelas. JJ hem…perlu banyak
belajar.
Yogyakarta 8 maret 2012
07.04 am
Tidak ada komentar:
Write Comment