Senin, November 12, 2012

Sudut Lain Pendidikan di Indonesia



Selalu saja ada yang bisa diceritakan dari dunia pendidikan Indonesia. Mulai dari pendidikan bergaya borjuis, hingga yang bergaya pengemis. Berbgaia macam hal dirintis, dari yang rintisan sekolah bertaraf internasional, hingga sekolah yang hanya sekedar dirintis tapi tak ada kelanjutannya. Begitu juga pengajarnya, ada yang kemana-mana dijemput supir dengan mobil sekelas P*J**O sport hingga yang ngonthel. Itulah uniknya Indonesia. Banyak hal-hal yang terkadang tidak bisa dijelaskan. Termasuk juga pembangunan pendidikan. Masih banyak sekolah-sekolah, terutama sekolah dasar yang hidup segan mati pun tak mau. Jumlah murid bisa dihitung jari, kualitas pengajar yang pas-pasan. Asalkan mau mengajar, dari pada tidak ada sama sekali. Miris? Sangat, sangat miris!

Salah satu sekolah dasar selama ini sangat jauh dari sentuhan modernisasi adalah Madrasah Ibtidaiyah di dusun Jelubang kota Blora. Memang ini bukan sekolah negeri, sekolah ini dibawah yayasan Muhammadiyah wilayah kota Blora. Tapi saya kira itu tak jadi soal, seharusnya pemerintah tetap memberikan perhatian kepada sekolah tersebut.

Sekolah ini terletak disebuah dusun yang untuk mencapainya harus melewati hutan jati disepanjang jalannya. Dari dusun sebelumnya jarak yang harus ditempuh sekitar 6 kilometer. Jalan menuju kedusun ini pun tidak layak untuk dilewati kendaraan bermotor, jalan belubang dimana-mana, batu-batu menonjol dimana-mana. Bagi yang tidak terampil berkendara harus sangat hati-hati untuk melewati jalan ini. Perbatasan dusun ini dengan dusun yang lain dibatasai oleh sebuah jembatan yang apabila hujan deras mengguyur, maka jembatannya akan terendam banjir. Bisa dipastikan tak ada satupun orang yang berani melewati jembatan tersebut.

Keadaan tersebut membuat pendidikan di MI tersebut bisa dibilang agak kurang maju. Sudah kejadian yang sangat biasa kalau ada murid yang tinggal kelas atau bahkan tidak lulus ujian nasional. Hingga suatu saat ada seorang sarjana muda, datang ke sekolah tersebut. Namanya Khoiri Wahyuni, lulusan dari STIMIK El Rahma Solo. Orangnya biasa, sangat biasa, berasal dari keluarga yang biasa, disebut kaya juga tidak, namun cukup berkecukupan.  Dia datang kesekolah itu karena terpaksa, setelah beberapa kali melamar pekerjaan namun tidak kunjung mendapatkan pekerjaan yang menurut dia sesuai dan layak.

Singkat cerita, akhirnya dia diterima mengajar disekolah tersebut. Pertama kali menjadi guru, langsung diberikan amanah untuk mengajar kelas 6 SD. Meskipun ini bukan sekolah yang bonafit, tapi setiap anak punya hak sama untuk  mendapatkan pengajaran terbaik, begitu pikirnya. Sejak saat itu, keterpaksaan itu menipis, berganti dengan tekad kuat untuk meluluskan murid-muridnya dengan cara terbaik yang dia bisa.  

Hampir setiap hari dia mengayuh sepeda menuju tempatnya mengajar. Kalau dibilang lelah, tentu saja sangat lelah. Sampai disana dia harus menghadapi anak-anak didiknya yang bisa dikatakan tingkat kecerdasannya rendah dibandingkan dengan siswa lain dari tingkat sekolah yang sama. Tidak hanya itu, anak-anak didiknya yang selama ini tidak terlalu mengenal modernisasi, diajaknya keluar dusun, dibawa ke kota, melihat apa yanga da di kota. Ini lho gedung bupati, ini lho gedung sekolah favorit di Blora, ini lho alun-alun kota. Dan semua itu dilauinya dengan mengayuh sepeda.

Setiap 3 hari sekali dia memberikan tambahan pelajaran untuk anak-anak didiknya. Tanpa dibayar sepeserpun. GRATIS! Semua itu dilakukannya agar anak-anak didiknya bisa lulus ujian nasional dengan nilai yang cukup baik. Paling tidak mereka lulus semuanya, tidak mengulang sejarah kakak-kakak kelasnya. Sebelumnya memang banayk kakak-kakak kelasnya yang tidak lulus dan akhirnya memilih untuk keluar sekolah dan menjadi buruh tani. ”Tidak! Rantai ini harus diputus!” Begitu pikirnya.

Bagaimana tanggapan rekan-rekan disekolahnya? Bermacam-macam, ada yang tidak mendukung sama sekali, ada yang biasa saja, ada ynag menyambut baik. Bagi yang tidak mendukung, alasannya karena selama ini sekolah ini ya seperti ini.Percuma mau diperjuangkan seperti apapun. Bagi yang biasa-biasa saja, sebenarnya mereka setuju, namun tekadnya tidak sekuat Bu Yuni. Bagi yang mendukung, mereka masih percaya, bahwa masih ada harapan untuk sekolah ini.

Oh, ada yang ketinggalan. Gaji. Maslah gaji, jangan pernah berpikir kalau dia mendapatkan gaji yang cukup. Dia hanya sekedar mengabdi, bukan PNS (Pegawai Negeri Sipil). Ah, kenapa status seorang guru selalu dikotak-kotakkan dengan PNS dan bukan PNS. Gaji yang dia terima setiap bulannya adalah Rp. 150.000,00. Bisa dibayangkan, untuk apa uang sejumlah itu. Pernah dia harus mengganti uang sejumlah Rp 2.400.000,00 yang dicopet orang saat dia pergi kekota bersama anak-anak didiknya. Lebih tidak bisa dibayangkan bukan, bagaimana dia bisa mengatur uang yang jumlahnya tidak seberapa untuk kesehariannya. Beruntung dia masih hidup bersama kedua orang tuanya. Jadi untuk urusan makan, bukan sesuatu yang perlu dipusingkan. Apalagi dia hidup didesa yang kata orang ada banyak makanan dimana-mana, sayur dikebun, telur di kandang dan lain sebagainya.

Apa yang selama ini dia perjuangkan berbuah manis.  Apa yang selama ini dia cita-citakan terwujud. Satu hal yang selama ini belum pernah terjadi di sekolah itu. Seluruh anak didiknya dinyatakan lulus ujian nasional. Ini sejarah bagi sekolah itu. Pertama kali siswanya lulus 100% di ujian nasional. Tidak ada penghargaan, tidak ada ucapan terimakasih, yang ada hanyalah senyum lega. Satu lagi tugasnya selesai. Meskipun setelah ini, dia harus mengulang perjuanggannya untuk siswa-siswa barunya.

Untukmu yang tak pernah dapat tanda jasa
Khoiri Wahyuni


Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba: Indonesia Berkibar "Guruku Pahlawanku"

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment