Selalu saja ada yang bisa diceritakan dari dunia pendidikan
Indonesia. Mulai dari pendidikan bergaya borjuis, hingga yang bergaya pengemis.
Berbgaia macam hal dirintis, dari yang rintisan sekolah bertaraf internasional,
hingga sekolah yang hanya sekedar dirintis tapi tak ada kelanjutannya. Begitu
juga pengajarnya, ada yang kemana-mana dijemput supir dengan mobil sekelas P*J**O
sport hingga yang ngonthel. Itulah uniknya Indonesia. Banyak hal-hal yang
terkadang tidak bisa dijelaskan. Termasuk juga pembangunan pendidikan. Masih
banyak sekolah-sekolah, terutama sekolah dasar yang hidup segan mati pun tak
mau. Jumlah murid bisa dihitung jari, kualitas pengajar yang pas-pasan. Asalkan
mau mengajar, dari pada tidak ada sama sekali. Miris? Sangat, sangat miris!
Salah satu sekolah dasar selama ini sangat jauh dari sentuhan
modernisasi adalah Madrasah Ibtidaiyah di dusun Jelubang kota Blora. Memang ini
bukan sekolah negeri, sekolah ini dibawah yayasan Muhammadiyah wilayah kota
Blora. Tapi saya kira itu tak jadi soal, seharusnya pemerintah tetap memberikan
perhatian kepada sekolah tersebut.
Sekolah ini terletak disebuah dusun yang untuk mencapainya
harus melewati hutan jati disepanjang jalannya. Dari dusun sebelumnya jarak
yang harus ditempuh sekitar 6 kilometer. Jalan menuju kedusun ini pun tidak
layak untuk dilewati kendaraan bermotor, jalan belubang dimana-mana, batu-batu
menonjol dimana-mana. Bagi yang tidak terampil berkendara harus sangat
hati-hati untuk melewati jalan ini. Perbatasan dusun ini dengan dusun yang lain
dibatasai oleh sebuah jembatan yang apabila hujan deras mengguyur, maka
jembatannya akan terendam banjir. Bisa dipastikan tak ada satupun orang yang
berani melewati jembatan tersebut.
Keadaan tersebut membuat pendidikan di MI tersebut bisa
dibilang agak kurang maju. Sudah kejadian yang sangat biasa kalau ada murid
yang tinggal kelas atau bahkan tidak lulus ujian nasional. Hingga suatu saat
ada seorang sarjana muda, datang ke sekolah tersebut. Namanya Khoiri Wahyuni, lulusan
dari STIMIK El Rahma Solo. Orangnya biasa, sangat biasa, berasal dari keluarga
yang biasa, disebut kaya juga tidak, namun cukup berkecukupan. Dia datang kesekolah itu karena terpaksa,
setelah beberapa kali melamar pekerjaan namun tidak kunjung mendapatkan
pekerjaan yang menurut dia sesuai dan layak.
Singkat cerita, akhirnya dia diterima mengajar disekolah
tersebut. Pertama kali menjadi guru, langsung diberikan amanah untuk mengajar
kelas 6 SD. Meskipun ini bukan sekolah yang bonafit, tapi setiap anak punya hak
sama untuk mendapatkan pengajaran
terbaik, begitu pikirnya. Sejak saat itu, keterpaksaan itu menipis, berganti
dengan tekad kuat untuk meluluskan murid-muridnya dengan cara terbaik yang dia
bisa.
Hampir setiap hari dia mengayuh sepeda menuju tempatnya
mengajar. Kalau dibilang lelah, tentu saja sangat lelah. Sampai disana dia
harus menghadapi anak-anak didiknya yang bisa dikatakan tingkat kecerdasannya
rendah dibandingkan dengan siswa lain dari tingkat sekolah yang sama. Tidak
hanya itu, anak-anak didiknya yang selama ini tidak terlalu mengenal
modernisasi, diajaknya keluar dusun, dibawa ke kota, melihat apa yanga da di
kota. Ini lho gedung bupati, ini lho gedung sekolah favorit di Blora, ini lho
alun-alun kota. Dan semua itu dilauinya dengan mengayuh sepeda.
Setiap 3 hari sekali dia memberikan tambahan pelajaran untuk
anak-anak didiknya. Tanpa dibayar sepeserpun. GRATIS! Semua itu dilakukannya
agar anak-anak didiknya bisa lulus ujian nasional dengan nilai yang cukup baik.
Paling tidak mereka lulus semuanya, tidak mengulang sejarah kakak-kakak
kelasnya. Sebelumnya memang banayk kakak-kakak kelasnya yang tidak lulus dan
akhirnya memilih untuk keluar sekolah dan menjadi buruh tani. ”Tidak! Rantai ini harus diputus!” Begitu
pikirnya.
Bagaimana tanggapan rekan-rekan disekolahnya? Bermacam-macam,
ada yang tidak mendukung sama sekali, ada yang biasa saja, ada ynag menyambut
baik. Bagi yang tidak mendukung, alasannya karena selama ini sekolah ini ya
seperti ini.Percuma mau diperjuangkan seperti apapun. Bagi yang biasa-biasa
saja, sebenarnya mereka setuju, namun tekadnya tidak sekuat Bu Yuni. Bagi yang
mendukung, mereka masih percaya, bahwa masih ada harapan untuk sekolah ini.
Oh, ada yang ketinggalan. Gaji. Maslah gaji, jangan pernah
berpikir kalau dia mendapatkan gaji yang cukup. Dia hanya sekedar mengabdi,
bukan PNS (Pegawai Negeri Sipil). Ah, kenapa status seorang guru selalu
dikotak-kotakkan dengan PNS dan bukan PNS. Gaji yang dia terima setiap bulannya
adalah Rp. 150.000,00. Bisa dibayangkan, untuk apa uang sejumlah itu. Pernah
dia harus mengganti uang sejumlah Rp 2.400.000,00 yang dicopet orang saat dia
pergi kekota bersama anak-anak didiknya. Lebih tidak bisa dibayangkan bukan,
bagaimana dia bisa mengatur uang yang jumlahnya tidak seberapa untuk kesehariannya.
Beruntung dia masih hidup bersama kedua orang tuanya. Jadi untuk urusan makan,
bukan sesuatu yang perlu dipusingkan. Apalagi dia hidup didesa yang kata orang
ada banyak makanan dimana-mana, sayur dikebun, telur di kandang dan lain
sebagainya.
Apa yang selama ini dia perjuangkan berbuah manis. Apa yang selama ini dia cita-citakan
terwujud. Satu hal yang selama ini belum pernah terjadi di sekolah itu. Seluruh
anak didiknya dinyatakan lulus ujian nasional. Ini sejarah bagi sekolah itu.
Pertama kali siswanya lulus 100% di ujian nasional. Tidak ada penghargaan,
tidak ada ucapan terimakasih, yang ada hanyalah senyum lega. Satu lagi tugasnya
selesai. Meskipun setelah ini, dia harus mengulang perjuanggannya untuk
siswa-siswa barunya.
Untukmu yang tak pernah dapat
tanda jasa
Khoiri Wahyuni
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba: Indonesia Berkibar "Guruku Pahlawanku"
Tidak ada komentar:
Write Comment