Rabu, Mei 08, 2013

Taat, Patuh, atau Hanya Sekedar Takut Dosa?



Catatan Edisi Kalem


Istri harus patuh kepada suaminya, selama itu tidak menentang syariat agama. Mungkin kaliamat itu nggak salah. Tapi, apakah sepenuhnya benar?
Banyak yang akhirnya harus menata ulang niatnya untuk menikah karena kalimat diatas. Terutama para perempuan. Ada banyak konsekwensi ketika sudah berani mengijinkan seseorang masuk dan melihat apa yang selama ini menjadi rahasianya. Hati, target hidup, cara pandang, dan lain sebagainya.

Tapi begitu juga dengan laki-laki. Masih banyak yang menggunakan kata “patuh” untuk berbuat “semaunya”. Semaunya dalam arti, setelah seorang perempuan diikatnya. Maka dia harus patuh, apapun yang dia katakan. Masalah si perempuan itu punya target lain dalam hidupnya itu bukan jadi soal. Bukankah perintahnya adalah istri patuh kepada suami, bukan sebaliknya. Bukankah yang dilaknat malaikat itu adalah istri ketika dia tidak mau melakukan apa yang diminta suaminya. Bukankah yang selalu digambarkan sebagai tulang rusuk yang bengkok itu adalah perempuan. Tulang rusuk yang harus diluruskan. Tapi apakah iya “seburuk itu”. Hingga akhirnya si perempuan harus patuh sepatuh-patuhnya kepada suaminya?

Hal ini yang terkadang membuat para perempuan benar-benar mensyaratkan banyak hal untuk menerima seorang laki-laki. Laki-laki baik sekali pun. Pada kenyataannya masih banyak yang menggunakan logika “amburadul” seperti ini.

Biarkan saja dia mensyaratkan banyak hal. Toh kalau dia sudah menjadi istriku, dia harus patuh denganku. Aku nggak akan memintanya untuk menentang syariat, hanya saja dia harus mengikuti ritme target hidupku.

Apakah semudah itu? apakah segampang itu logikanya?

Logika laki-laki yang baik pasti bisa berpikir lebih jernih. Seorang perempuan juga manusia, punya target dan keinginan yang memang sudah dia targetkan dari awal sebelum menikah. Apalagi kalau perempuan tersebut adalah perempuan yang terencana. Semua yang dilakukan terencana dengan baik. Seorang perempuan menikah, salah satu tujuannya adalah agar potensinya teroptimalkan, bukan sebaliknya.

Ketika saat masih lajang dia piawai menulis, ketika dia sudah menikah pun sama. Ingin agar dia lebih terjaga dan dia bisa lebih tenang dalam menulis. Bahkan sampai perempuan pecinta alam sekalipun. Saat dia menikah dia pun masih punya hak untuk memaksimalkan potensinya.

Menikah itu menuju ke kebaikan, memenuhi target, saling melengkapi target masing-masing, saling menyesuaikan, tidak ada bahasanya perempuan harus selalu mengalah. Semua dibicarakan dengan baik.  Perempuan tetap punya hak untuk mengatakan tidak. Nggak semua hal yang dikatakan suaminya harus diiyakan. Apalagi kalau itu berkaitan dengan hidupnya. Tapi tentu saja ini harus melalui prose berpikir yang baik. Matang dan nggak terkesan buru-buru.

Miris saat melihat banyak perempuan yang tiba-tiba kehilangan potensinya begitu menikah. Waktunya habis untuk mengurus keluarga. Mengurus diri pun kadang nggak sempat. Jangankan mengurus target hidup. Mungkin saja dia bahagia dengan apa yang dia lakukan. Tapi harusnya disaat seperti ini, seorang laki-laki yang baik sadar dan peka. bahwa umat ini butuh istrinya juga. Bahwa potensi istrinya bukan hanya miliknya dan haknya. Umat ini membutuhkannya. Umat ini perlu sentuhannya.

Kebaikan itu pasti akan membawa kebaikan sebelumnya menjadi jauh lebih baik. Tidak akan ada ceritanya kebaikan menghilangkan kebaikan yang lain. Begitu juga pernikahan.

#Hanya sekelumit apa yang ada dipikiran. Sebelum akhirnya potensi itu hilang begitu saja.

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment