Catatan Edisi
Kalem
Istri
harus patuh kepada suaminya, selama itu tidak menentang syariat agama. Mungkin
kaliamat itu nggak salah. Tapi, apakah sepenuhnya benar?
Banyak
yang akhirnya harus menata ulang niatnya untuk menikah karena kalimat diatas.
Terutama para perempuan. Ada banyak konsekwensi ketika sudah berani mengijinkan
seseorang masuk dan melihat apa yang selama ini menjadi rahasianya. Hati,
target hidup, cara pandang, dan lain sebagainya.
Tapi
begitu juga dengan laki-laki. Masih banyak yang menggunakan kata “patuh” untuk
berbuat “semaunya”. Semaunya dalam arti, setelah seorang perempuan diikatnya.
Maka dia harus patuh, apapun yang dia katakan. Masalah si perempuan itu punya
target lain dalam hidupnya itu bukan jadi soal. Bukankah perintahnya adalah
istri patuh kepada suami, bukan sebaliknya. Bukankah yang dilaknat malaikat itu
adalah istri ketika dia tidak mau melakukan apa yang diminta suaminya. Bukankah
yang selalu digambarkan sebagai tulang rusuk yang bengkok itu adalah perempuan.
Tulang rusuk yang harus diluruskan. Tapi apakah iya “seburuk itu”. Hingga
akhirnya si perempuan harus patuh sepatuh-patuhnya kepada suaminya?
Hal
ini yang terkadang membuat para perempuan benar-benar mensyaratkan banyak hal untuk
menerima seorang laki-laki. Laki-laki baik sekali pun. Pada kenyataannya masih
banyak yang menggunakan logika “amburadul” seperti ini.
Biarkan
saja dia mensyaratkan banyak hal. Toh kalau dia sudah menjadi istriku, dia
harus patuh denganku. Aku nggak akan memintanya untuk menentang syariat, hanya
saja dia harus mengikuti ritme target hidupku.
Apakah
semudah itu? apakah segampang itu logikanya?
Logika
laki-laki yang baik pasti bisa berpikir lebih jernih. Seorang perempuan juga
manusia, punya target dan keinginan yang memang sudah dia targetkan dari awal
sebelum menikah. Apalagi kalau perempuan tersebut adalah perempuan yang
terencana. Semua yang dilakukan terencana dengan baik. Seorang perempuan
menikah, salah satu tujuannya adalah agar potensinya teroptimalkan, bukan
sebaliknya.
Ketika
saat masih lajang dia piawai menulis, ketika dia sudah menikah pun sama. Ingin
agar dia lebih terjaga dan dia bisa lebih tenang dalam menulis. Bahkan sampai
perempuan pecinta alam sekalipun. Saat dia menikah dia pun masih punya hak
untuk memaksimalkan potensinya.
Menikah
itu menuju ke kebaikan, memenuhi target, saling melengkapi target
masing-masing, saling menyesuaikan, tidak ada bahasanya perempuan harus selalu
mengalah. Semua dibicarakan dengan baik.
Perempuan tetap punya hak untuk mengatakan tidak. Nggak semua hal yang
dikatakan suaminya harus diiyakan. Apalagi kalau itu berkaitan dengan hidupnya.
Tapi tentu saja ini harus melalui prose berpikir yang baik. Matang dan nggak
terkesan buru-buru.
Miris
saat melihat banyak perempuan yang tiba-tiba kehilangan potensinya begitu
menikah. Waktunya habis untuk mengurus keluarga. Mengurus diri pun kadang nggak
sempat. Jangankan mengurus target hidup. Mungkin saja dia bahagia dengan apa
yang dia lakukan. Tapi harusnya disaat seperti ini, seorang laki-laki yang baik
sadar dan peka. bahwa umat ini butuh istrinya juga. Bahwa potensi istrinya
bukan hanya miliknya dan haknya. Umat ini membutuhkannya. Umat ini perlu
sentuhannya.
Kebaikan
itu pasti akan membawa kebaikan sebelumnya menjadi jauh lebih baik. Tidak akan ada
ceritanya kebaikan menghilangkan kebaikan yang lain. Begitu juga pernikahan.
#Hanya
sekelumit apa yang ada dipikiran. Sebelum akhirnya potensi itu hilang begitu
saja.
Tidak ada komentar:
Write Comment