Saya teringat pada tahun 1938
suatu kejadian yang sedih dan seram di Medan. Seorang pemuda membunuh pemuda
lain yang berbuat jahat (serong) dengan saudara perempuannya. Pemuda pembunuh
itu dihukum 15 tahun penjara.
Ketika hukuman jatuh, sedikit pun
tidak kelihatan tanda penyesalan di wajahnya. Dia terima hukuman itu dengan
tenang dan senyum. Baginya hukuman buang 15 tahun karena mempertahankan
kehormatan keluarga bukanlah suatu kehinaan. Malahan kalau sekiranya saudara
perempuannya diganggu orang lalu didiamkan saja itulah dia kehinaan. Meskipun dia
hidup 15 tahun lagi sesudah itu, tidaklah ada harganya. Meskipun dia lepas
bebas dalam masyarakat 15 tahun tidaklah ada artinya, serupa saja artinya
dengan menjadi orang buangan, malah lebih hina dari itu.
Dengan hukuman 15 tahun yang
dijalaninya itulah dia merasa dirinya berharga.
Tahun 1938 itu juga ada suatu
kejadian lagi. Seorang ibu di Tapanuli Selatan (Mandailing) membawa anak
perempuannya mandi di sungai Batang Gadis. Setelah selesai mandi dikeluarkannya
pisau dari ikat pinggangnya. Lalu ditikamnya anak itu dan disembelihnya. Ketika
ditanya polisi dijawabnya terus terang. Lebih baik anak itu mati dari pada
hidup member malu. Anak itu telah berintaian (berpacaran)) dengan seorang
laki-laki. Ibu itu kemudian dihukum. Namun tidak ada orang kampong yang
menyalahkan dia.
Itulah yang disebut “syaraf”. Dan syaraf itu telah masuk ke
dalam darah daging bangsa Indonesia.
Inilah yang dinamai oleh pemuda
Minangkabau:
“Arang tercoreng di kening. Malu tergaris di muka”.
Kalau rasa malu menimpa diri,
tidak ada penebusnya kecuali nyawa.
Bangsa-bangsa Barat yang suka
menyelidiki jiwa dan masyarakat Indonesia amatlah heran dan tercengang, mengapa
orang bugis-Makassar mudah sekali membunuh orang kalau kehormatannya
tersinggung. Mereka tidak mengerti bagaimana besarnya pengaruh Ghirah pada
orang Bugis.
Orang Madura pun demikian. Apabila
seorang pemuda dibuang karena membunuh, menebus kehormatannya yang tersinggung,
sampai dalam penjara dia merasa lebih mulia dari pada teman sesam hukuman yang
terbuang karena merampok dan menyamun. Dan lebih bila dia telah dikeluarkan
dari penjara dia dibelikan oleh keluarganya pakaian baru dan dia merasa bangga
sebab dia telah menyelesaikan tugasnya membela kehormatan diri dan keluarganya.
Orang Banjar pun begitu pula. Suku
ini terkenal “ganas” terhadap orang
yang dibunuhnya karena malu dan syarafnya tersinggung. Sifat itu dimiliki oleh
seluruh suku-suku bangsa kita. Orang Melayu terkenal dengan “amok”nya bila malunya belum juga
tertebus. Bila malu itu telah ditebusnya dia dating kepada polisi menyerahkan
dirinya dan bersedia menjalani hukuman apapapun yang dijatuhkan.
Oleh karena itu, maka anak-anak
perempuan merasa dirinya dilindungi. Di Minangkabau anak-anak muda tidur di
surau menjaga kampong. Seorang pemuda yang masih tidur di rumah ibu sangatlah
dipandang janggal. Yang diutamakan ialah menjaga anak-anak gadis dalam kampong agar
jangan sampai ada pagar makan tanaman.
Bukanlah karena perempuan itu semata-mata
mau dipingit. Pergaulan antara pemuda pemudi juga dibolehkan. Tetapi dalam
batas-batas kesopanan.
Nenek moyang di Lampung dan
Tapanuli serta daerah-daerah lain seperti di pesisir Minangkabau memberikan
kesempatan mencari jodoh dengan “manjau” atau
“martandang” atau pertemuan dalam
perhelatan. Tapi jangan sekali-kali melanggar garis yang patut. Oleh sebab itu
tak ada pemuda-pemuda yang berani melanggar karena nyawa tebusannya. Kalau ada
persetujuan, sampaikan kepada orang tua. “Kalau
bulat telah segolong, picak telah selayang” perkawinan dapat dilangsungkan.
Itulah bernama Ghirah, yaitu menjaga syaraf diri.
Orang-orang tua memesankan kepada
anak-anaknya menjaga syaraf dan menghidupkan Ghirah. Jaga adikmu. Ingatlah,
segala yang memakai kutang dan berambut panjang adalah saudaramu dan ibumu.
Ditulis ulang dari buku berjudul “Ghirah
dan Tantangan terhadap Islam” karya Buya Hamka
Sedikit tambahan. Salah satu
kelebihan dari tulisan ini adalah seorang Buya Hamka menuliskan dari sudut
pandang yang tengah. Tidak menyalahkan perempuan juga tidak meyalahkan
laki-laki. Berbeda dengan tulisan-tulisan yang berkembang sekarang yang
cenderung saling menyalahkan. Perempuan menyalahkan laki-laki yang katanya
tidak bisa menahan nafsu. Laki-laki menyalahkan perempuan karena tidak menjaga
diri.
Tidak ada komentar:
Write Comment