Sabtu, April 05, 2014

Ghirah (Cemburu)

Saya teringat pada tahun 1938 suatu kejadian yang sedih dan seram di Medan. Seorang pemuda membunuh pemuda lain yang berbuat jahat (serong) dengan saudara perempuannya. Pemuda pembunuh itu dihukum 15 tahun penjara.

Ketika hukuman jatuh, sedikit pun tidak kelihatan tanda penyesalan di wajahnya. Dia terima hukuman itu dengan tenang dan senyum. Baginya hukuman buang 15 tahun karena mempertahankan kehormatan keluarga bukanlah suatu kehinaan. Malahan kalau sekiranya saudara perempuannya diganggu orang lalu didiamkan saja itulah dia kehinaan. Meskipun dia hidup 15 tahun lagi sesudah itu, tidaklah ada harganya. Meskipun dia lepas bebas dalam masyarakat 15 tahun tidaklah ada artinya, serupa saja artinya dengan menjadi orang buangan, malah lebih hina dari itu.

Dengan hukuman 15 tahun yang dijalaninya itulah dia merasa dirinya berharga.

Tahun 1938 itu juga ada suatu kejadian lagi. Seorang ibu di Tapanuli Selatan (Mandailing) membawa anak perempuannya mandi di sungai Batang Gadis. Setelah selesai mandi dikeluarkannya pisau dari ikat pinggangnya. Lalu ditikamnya anak itu dan disembelihnya. Ketika ditanya polisi dijawabnya terus terang. Lebih baik anak itu mati dari pada hidup member malu. Anak itu telah berintaian (berpacaran)) dengan seorang laki-laki. Ibu itu kemudian dihukum. Namun tidak ada orang kampong yang menyalahkan dia.
Itulah yang disebut “syaraf”. Dan syaraf itu telah masuk ke dalam darah daging bangsa Indonesia.
Inilah yang dinamai oleh pemuda Minangkabau:

Arang tercoreng di kening. Malu tergaris di muka”.

Kalau rasa malu menimpa diri, tidak ada penebusnya kecuali nyawa.
Bangsa-bangsa Barat yang suka menyelidiki jiwa dan masyarakat Indonesia amatlah heran dan tercengang, mengapa orang bugis-Makassar mudah sekali membunuh orang kalau kehormatannya tersinggung. Mereka tidak mengerti bagaimana besarnya pengaruh Ghirah pada orang Bugis.

Orang Madura pun demikian. Apabila seorang pemuda dibuang karena membunuh, menebus kehormatannya yang tersinggung, sampai dalam penjara dia merasa lebih mulia dari pada teman sesam hukuman yang terbuang karena merampok dan menyamun. Dan lebih bila dia telah dikeluarkan dari penjara dia dibelikan oleh keluarganya pakaian baru dan dia merasa bangga sebab dia telah menyelesaikan tugasnya membela kehormatan diri dan keluarganya.

Orang Banjar pun begitu pula. Suku ini terkenal “ganas” terhadap orang yang dibunuhnya karena malu dan syarafnya tersinggung. Sifat itu dimiliki oleh seluruh suku-suku bangsa kita. Orang Melayu terkenal dengan “amok”nya bila malunya belum juga tertebus. Bila malu itu telah ditebusnya dia dating kepada polisi menyerahkan dirinya dan bersedia menjalani hukuman apapapun yang dijatuhkan.

Oleh karena itu, maka anak-anak perempuan merasa dirinya dilindungi. Di Minangkabau anak-anak muda tidur di surau menjaga kampong. Seorang pemuda yang masih tidur di rumah ibu sangatlah dipandang janggal. Yang diutamakan ialah menjaga anak-anak gadis dalam kampong agar jangan sampai ada pagar makan tanaman.

Bukanlah karena perempuan itu semata-mata mau dipingit. Pergaulan antara pemuda pemudi juga dibolehkan. Tetapi dalam batas-batas kesopanan.

Nenek moyang di Lampung dan Tapanuli serta daerah-daerah lain seperti di pesisir Minangkabau memberikan kesempatan mencari jodoh dengan “manjau” atau “martandang” atau pertemuan dalam perhelatan. Tapi jangan sekali-kali melanggar garis yang patut. Oleh sebab itu tak ada pemuda-pemuda yang berani melanggar karena nyawa tebusannya. Kalau ada persetujuan, sampaikan kepada orang tua. “Kalau bulat telah segolong, picak telah selayang” perkawinan dapat dilangsungkan. Itulah bernama Ghirah, yaitu menjaga syaraf diri.

Orang-orang tua memesankan kepada anak-anaknya menjaga syaraf dan menghidupkan Ghirah. Jaga adikmu. Ingatlah, segala yang memakai kutang dan berambut panjang adalah saudaramu dan ibumu.

Ditulis ulang dari buku berjudul “Ghirah dan Tantangan terhadap Islam” karya Buya Hamka


Sedikit tambahan. Salah satu kelebihan dari tulisan ini adalah seorang Buya Hamka menuliskan dari sudut pandang yang tengah. Tidak menyalahkan perempuan juga tidak meyalahkan laki-laki. Berbeda dengan tulisan-tulisan yang berkembang sekarang yang cenderung saling menyalahkan. Perempuan menyalahkan laki-laki yang katanya tidak bisa menahan nafsu. Laki-laki menyalahkan perempuan karena tidak menjaga diri. 

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment