Aku benci
laki-laki. Bagiku tidak ada laki-laki yang baik. Tidak bapakku. Tidak kakak
iparku. Tidak pula laki-laki yang ada disekitarku.
Bapakku laki-laki
yang baik. Tapi hanya kepada orang lain. Keluarganya? Dianggapnya sebagai
seonggok daging tak bernyawa. Tak perlu dihargai. Apapun, hanya boleh dia yang
memutuskan.
Kakak iparku? Ah
salah kakak perempuanku juga. Kenapa harus buru-buru jatuh cinta. Buru-buru? Mungkin
tidak, 24 tahun bukan waktu yang buru-buru untuk menikah. Tapi dia salah
langkah. Menganggap keluar dari rumah adalah cara paling ampuh untuk mengurangi
kesengsaraan. Kami sama, benci kepada bapak.
Sedikit dirayu
langsung jatuh hati. Merasa jadi putri yang didatangi pangeran. Tersipu.
Merona. Bodohnya dia. Sekarang tanggung sendiri akibatnya. Ditinggal main
perempuan. Sakit? Itu pilihanmu.
Laki-laki
disekitarku pun layak dibenci. Menikahi gadis-gadis dibawah umur. Lalu dicerai
saat rumah tangga seumur jagung. Alasannya, tidak bisa memberi nafkah. Lalu
kemana janji-janji manis saat menikah. Mereka pikir nafkah batin saja cukup
untuk menghidupi keluarga.
Lalu masihkah
kau bertanya kenapa aku benci laki-laki?
^^
Hei, serius
banget bacanya. Itu bukan kisah nyata. Ah, semoga tidak ya. Ini adalah
penggalan novel yang sedang saya tulis. Berlatar belakang kondisi disekitar
tempat tinggal saya yang ih waow. Sampai kadang saya berdecak ‘kagum’, ketika
adik kelas dulu di SD, sudah menjadi janda 3 kali diumurnya yang baru masuk
gerbang kepala dua. Adilkah? Lalu kenapa dia begitu menikmatinya? Seolah tak
ada yang perlu dicemaskan.
Doakan saya
istiqomah menulis ya J
^^
Tidak ada komentar:
Write Comment