Credit here |
Perempuan dan laki-laki memiliki karakteristik yang
berbeda. Uh! Saya sulit memulai tulisan kali ini. Takut terlalu feminis. Padahal
tidak ada sedikitpun niat menuju kesana. Sejak awal, keduanya memang sudah
berbeda. Bahasa sederhananya, untuk bisa saling melengkapi satu sama lain.
Namun pada fungsinya, akhinya harus ada satu yang
memimpin. Allah mentakdirkan ini kepada para laki-laki. (Duh, berasa garing nih
tulisannya). Beberapa waktu ini saya mencoba untuk mencerna ini. kenapa begitu?
Kenapa bukan perempuan yang memimpin? Kenapa laki-laki? Padahl belum tentu juga
seorang laki-laki bisa memimpin perempuan. Maksudnya, tidak setiap laki-laki
bisa memimpin berbagai macam jenis perempuan. Ah saya lupa tentang sekufu.
Salah satu sebab seorang laki-laki memimpin
perempuan adalah karena laki-laki dilebihkan atas perempuan. Secara agama
jelas, anggaplah contoh satu hal, seorang laki-laki punya kewajiban beribadah
kapanpun. Full time. Bagaimana pun kondisinya, ketika masuk waktu kewajiban
untuk beribadah, maka harus dilakukan. Wajib. Seperti apapun dia kondisinya,
pun sedang berhadast besar harus disucikan. Berbeda dengan perempuan. Perempuan
punya siklus yang membuat dia tidak bisa beribadah optimal dalam rentang waktu
tertentu. Satu bulan minimal 3-10 hari ada jeda waktu yang dia tidak bisa
mendekat optimal kepda Rabb-nya.
Ini pun berbeda kondisinya bagi tiap-tiap perempuan.
Ada yang punya siklus 28 hari, yang artinya dia akan dapat “diskon” 2 kali
dalam satu bulan. Ini akan sangat berpengaruh pada kondisi ruqiyahnya. Lalu muncul
pertanyaan, tapi apa iya ketika laki-laki dilebihkan atas perempuan, setiap
laki-laki bisa memimpin semua perempuan. Sepertinya tidak. Inilah makna sekufu.
Sulit dicerna ya? Mari kita analogikan saja. Tiap kita
dibentuk oleh lingkungan, sejarah, masa depan dll. ada perempuan yang sedari
kecil dia hidup kurang dari segi ekonominya. Akhirnya dia tumbuh menjadi sangat
mandiri. Sangat aktif mencari dan lain sebagainya. Disisi lain ada laki-laki
yang sedari kecil hidup berkecukupan, apapun yang diinginkan ada. Tinggal minta
semua beres. Tanpa kita melihat latar belakang ekonomi (karena ini materi bukan
hal yang paling utama untuk dijadikan pertimbangan), apakah kita bisa
mengatakan mereka sekufu? Tidak. Karena dalam hal ini si perempuan yang lebih
maju dari si laki-laki.
Kita ambil contoh lain, ada seorang laki-laki yang
sedari kecil dibiasakan hidup sederhana oleh orang tuanya, bukan lantaran tidak
punya, tapi lebih kepada hati-hati, tidak pamer. Lalu disisi lain ada perempuan
yang sama-sama cukup dari segi ekonomi, tapi orang tuanya tidak membiasakan
dengan gaya hidup sederhana (meskipun tidak bisa dikatakan mewah), lalu ketika
mereka bertemu, satu inginnya terlihat secara materi (tapi tidak berlebihan),
satunya ingin biasa saja. Apakah mereka sekufu? Hmm…ketika tidak ada satu yang
mau “menyekufukan” maka ini tidak sekufu.
Kita ambil contoh lain, ada seorang perempuan baik
dan laki-laki baik. Si perempuan aktif dimana-mana, pemikirannya dinamis. Open
minded. Berwawasan luas. Sedangkan si laki-laki tidak banyak bergaul, sehingga
pemikirannya kurang dinamis yang akhirnya membentuknya menjadi kurang open
mind. Kurang open mind disini bisa jadi karena kurang beragamnya teman. Apakah mereka
sekufu? Padahal sama-sama baik. Tidak, atau mungkin kurang sekufu. Kalau pun
dipaksakan, harus banyak sekali penyesuaian.
Contoh lain, ada perempuan yang baik dari segi
agamanya, sedari kecil tinggal dilingkungan yang begitu terjaga. Anggaplah di
sebuah lingkungan kelompok islam tertentu. Sisi lain, ada laki-laki yang baik
juga dari sisi agama namun lingkungan tempat dia tumbuh berbeda kelompok dengan
si perempuan. Beda prinsip gerakan barangkali. Apakah mereka sekufu? Bisa jadi
iya, bisa jadi tidak.
Masih bingung? Saya beri contoh yang lebih riil. Ada
perempuan yang hidup di lingkungan terpelajar. Teman-temannya pun terpelajar. Ditempat
lain ada laki-laki yang sedari kecil hidup dipemukiman kumuh, tempat mangkal
preman, kehidupan yang begitu keras. Hingga akhirnya si laki-laki ini pun
menjadi pribadi yang keras juga. Kurang bisa menata sikap dan ucapan. Ketika mereka
dipertemukan, akankah si laki-laki ini bisa memimpin perempuan tadi? Mungkin kalau
sekedar memimpin dalam artian suruh sana, suruh sini mudah. Tapi kalau pemimpin
dalam artian yang sebenarnya, membimbing, memberi contoh, melindungi dan lain
sebagainya, bisa kah?
Nah, sampai disini akhirnya jelas, bahwa kemampuan
untuk memimpin pun harus diimbangi dengan kesekufuan atau minimal mau mengerti
dan memahami. Bukan sekedar minta dituruti. Memang pada kondisi yang paling
ideal adalah laki-laki itu harus lebih baik dari perempuan karena dia yang akan
memberikan contoh. Tapi ideal tentu saja bukan kondisi yang mudah dibuat. Ini pun
harus diawali dengan kata saling. Ketika kondisi minimal yang bisa ditoleransi
sudah didapatkan, maka selanjutnya adalah saling membantu untuk menjadi lebih
baik. Dalam porsi yang sebenarnya tentu saja.
Catatan penulis: Saya pun masih belajar. J
Senorita
0625|18072014
21 Ramadhan 1435 H
Tidak ada komentar:
Write Comment