Jumat, Juli 18, 2014

Ketika Kau Lebih Baik Dari yang Lain

Credit here

Perempuan dan laki-laki memiliki karakteristik yang berbeda. Uh! Saya sulit memulai tulisan kali ini. Takut terlalu feminis. Padahal tidak ada sedikitpun niat menuju kesana. Sejak awal, keduanya memang sudah berbeda. Bahasa sederhananya, untuk bisa saling melengkapi satu sama lain.

Namun pada fungsinya, akhinya harus ada satu yang memimpin. Allah mentakdirkan ini kepada para laki-laki. (Duh, berasa garing nih tulisannya). Beberapa waktu ini saya mencoba untuk mencerna ini. kenapa begitu? Kenapa bukan perempuan yang memimpin? Kenapa laki-laki? Padahl belum tentu juga seorang laki-laki bisa memimpin perempuan. Maksudnya, tidak setiap laki-laki bisa memimpin berbagai macam jenis perempuan. Ah saya lupa tentang sekufu.

Salah satu sebab seorang laki-laki memimpin perempuan adalah karena laki-laki dilebihkan atas perempuan. Secara agama jelas, anggaplah contoh satu hal, seorang laki-laki punya kewajiban beribadah kapanpun. Full time. Bagaimana pun kondisinya, ketika masuk waktu kewajiban untuk beribadah, maka harus dilakukan. Wajib. Seperti apapun dia kondisinya, pun sedang berhadast besar harus disucikan. Berbeda dengan perempuan. Perempuan punya siklus yang membuat dia tidak bisa beribadah optimal dalam rentang waktu tertentu. Satu bulan minimal 3-10 hari ada jeda waktu yang dia tidak bisa mendekat optimal kepda Rabb-nya.

Ini pun berbeda kondisinya bagi tiap-tiap perempuan. Ada yang punya siklus 28 hari, yang artinya dia akan dapat “diskon” 2 kali dalam satu bulan. Ini akan sangat berpengaruh pada kondisi ruqiyahnya. Lalu muncul pertanyaan, tapi apa iya ketika laki-laki dilebihkan atas perempuan, setiap laki-laki bisa memimpin semua perempuan. Sepertinya tidak. Inilah makna sekufu.

Sulit dicerna ya? Mari kita analogikan saja. Tiap kita dibentuk oleh lingkungan, sejarah, masa depan dll. ada perempuan yang sedari kecil dia hidup kurang dari segi ekonominya. Akhirnya dia tumbuh menjadi sangat mandiri. Sangat aktif mencari dan lain sebagainya. Disisi lain ada laki-laki yang sedari kecil hidup berkecukupan, apapun yang diinginkan ada. Tinggal minta semua beres. Tanpa kita melihat latar belakang ekonomi (karena ini materi bukan hal yang paling utama untuk dijadikan pertimbangan), apakah kita bisa mengatakan mereka sekufu? Tidak. Karena dalam hal ini si perempuan yang lebih maju dari si laki-laki.

Kita ambil contoh lain, ada seorang laki-laki yang sedari kecil dibiasakan hidup sederhana oleh orang tuanya, bukan lantaran tidak punya, tapi lebih kepada hati-hati, tidak pamer. Lalu disisi lain ada perempuan yang sama-sama cukup dari segi ekonomi, tapi orang tuanya tidak membiasakan dengan gaya hidup sederhana (meskipun tidak bisa dikatakan mewah), lalu ketika mereka bertemu, satu inginnya terlihat secara materi (tapi tidak berlebihan), satunya ingin biasa saja. Apakah mereka sekufu? Hmm…ketika tidak ada satu yang mau “menyekufukan” maka ini tidak sekufu.

Kita ambil contoh lain, ada seorang perempuan baik dan laki-laki baik. Si perempuan aktif dimana-mana, pemikirannya dinamis. Open minded. Berwawasan luas. Sedangkan si laki-laki tidak banyak bergaul, sehingga pemikirannya kurang dinamis yang akhirnya membentuknya menjadi kurang open mind. Kurang open mind disini bisa jadi karena kurang beragamnya teman. Apakah mereka sekufu? Padahal sama-sama baik. Tidak, atau mungkin kurang sekufu. Kalau pun dipaksakan, harus banyak sekali penyesuaian.

Contoh lain, ada perempuan yang baik dari segi agamanya, sedari kecil tinggal dilingkungan yang begitu terjaga. Anggaplah di sebuah lingkungan kelompok islam tertentu. Sisi lain, ada laki-laki yang baik juga dari sisi agama namun lingkungan tempat dia tumbuh berbeda kelompok dengan si perempuan. Beda prinsip gerakan barangkali. Apakah mereka sekufu? Bisa jadi iya, bisa jadi tidak.

Masih bingung? Saya beri contoh yang lebih riil. Ada perempuan yang hidup di lingkungan terpelajar. Teman-temannya pun terpelajar. Ditempat lain ada laki-laki yang sedari kecil hidup dipemukiman kumuh, tempat mangkal preman, kehidupan yang begitu keras. Hingga akhirnya si laki-laki ini pun menjadi pribadi yang keras juga. Kurang bisa menata sikap dan ucapan. Ketika mereka dipertemukan, akankah si laki-laki ini bisa memimpin perempuan tadi? Mungkin kalau sekedar memimpin dalam artian suruh sana, suruh sini mudah. Tapi kalau pemimpin dalam artian yang sebenarnya, membimbing, memberi contoh, melindungi dan lain sebagainya, bisa kah?

Nah, sampai disini akhirnya jelas, bahwa kemampuan untuk memimpin pun harus diimbangi dengan kesekufuan atau minimal mau mengerti dan memahami. Bukan sekedar minta dituruti. Memang pada kondisi yang paling ideal adalah laki-laki itu harus lebih baik dari perempuan karena dia yang akan memberikan contoh. Tapi ideal tentu saja bukan kondisi yang mudah dibuat. Ini pun harus diawali dengan kata saling. Ketika kondisi minimal yang bisa ditoleransi sudah didapatkan, maka selanjutnya adalah saling membantu untuk menjadi lebih baik. Dalam porsi yang sebenarnya tentu saja.

Catatan penulis: Saya pun masih belajar. J

Senorita
0625|18072014

21 Ramadhan 1435 H

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment