Senin, Juli 21, 2014

Setengah Dien



Nikah. Tema ini menjadi begitu laris manis. Apalagi dikalangan aktivis yang mendukung nikah muda. Wait! Kali ini kita nggak akan bahas tentang nikahnya. Sudah banyak yang membahas. Sudah mainstream. Nggak asyik. Pasaran. Hehehe.

Kali ini kita akan membahsa tentang setengah dien. Terus apa bedanya dnegan nikah? Ya beda donk. Lupa ya? Bahwa ada setengah dien lain yang harus kita tuntaskan selain setengah dien yang “itu”. Namanya taqwa. Remember?

Yap, semakin kesini justru setengah dien yang ini semakin terlupa. Tertelan hiruk pikuk kebingungan menggenapkan setengah dien yang lain. Apakah setengah dien yang lain itu nggak penting? Penting donk. Tapi apa lantas kita melupakan setengah dien lain yang memang sedari awal itulah kewajiban kita? I don’t think so :D

Begini, saya sering menemukan teman-teman saya (mungkin saya juga) lebih tersibukkan untuk full ikhtiar menggenapkan setengah dien yang lain tapi menomor duakan taqwa. It’s mean, satu diprioritaskan, yang lain diabaikan.

Butuh contoh?

Saya menemukan fenomena yang membuat saya miris. Pertama dari laki-laki. Banyak yang mendapatkan julukan itong (ikhwan sepotong), ikhwan playboy, ikhwan PHP, bakwan (bakal ikhwan) dan lain sebagainya. Sebabnya satu, mereka sering “menggoda”akhwat-akhwat. Duh! Sedih saya. Sebenci-bencinya saya dengan mereka (sikapnya terutama), tetap saja mereka saudara saya.

Miris banget nggak sih, mereka yang nantinya punya kewajiban menjadi imam keluarga justru jatuh hanya gegara hal yang sangat remeh temeh seperti ini? Masalah hati! Helloo, kamu laki-laki mameennn!! Bahkan kalian punya kesempatan yang sangat berlebih untuk menentukan hidup kalian. Apalagi dengan budaya ketimuran Indonesia yang menempatkan laki-laki sebagai pihak yang melamar bukan yang dilamar. So? Bukankah itu begitu simple? Upgrade ilmu agama, pantaskan diri, mandiri ekonomi, pilih calon, lamar, nikah. Simple sekali bukan?

Banyak yang terjebak dengan kata “pilih”. Entah! Saya pun kadang nggak habis pikir. Kenapa laki-laki bisa begitu bergantungnya tidak mau melepas perempuan (padahal si perempuan tidak bisa dinikahi dalam waktu dekat). Apalagi kalau urusannya hanya hal fisik. Rawrrr! Pengen gue gaplok! Kamu itu laki-laki brother! #balik ke pose kalem.

Nah! Disini ketaqwaan diuji. Banyak yang akhirnya lebih memilih untuk mengejar “perempuan” sehingga melonggarkan syariat. Lupa kalau perempuan yang baik hanya akan memilih laki-laki yang baik? Pertanyaan selanjutnya, apakah tindakan mengejar-ngejar perempuan dengan cara melonggarkan syariat itu ciri laki-laki yang baik? Silahkan jawab sendiri ya. #kalem

Bukan hanya dari pihak laki-laki, perempuan pun sama. Sebagai perempuan pun saya masih sering mengutuki diri saya sendiri. Ketika harus berinteraksi dengan teman-teman saya yang kebanyakan orang lapangan dan orang gunung. Mereka (saya juga) yang lebih cenderung cuek dengan penilaian orang lain. Bagi kami biasa saja, mungkin bagi orang lain sudah kelewatan. Hehehe. Duh! Ampun Robbi!

Dari sisi perempuan banyak yang mudah membalikkan prioritas. Masuk umur 20 tahun, semangat dan rasa itu mulai meletup. Keinginan untuk terlihat “bening” itu selalu ada. Apalagi dihadapan lawan jenis. Trust me! Saya perempuan, saya tahu betul tentang itu. Bagi yang tidak kuat menahan godaan, dia akan “membeningkan diri” (istilah maksa).

Hingga akhirnya ketaqwaan yang jadi taruhan. Ketika ada yang asal mendekat, langsung ditanggapi. Padahal sejatinyanya, kami para perempuan tahu betul mana yang baik dan mana yang tidak. Maka tidak heran kalau itong semakin menjamur, karena banyak atong.

Lupa kalau setengah dien itu bukan melulu urusan janur kuning. Ada setengah dien lain yang tidak kalah penting. Tentang ketaqwaan yang memang sudah kita janjikan kepada-Nya. Lupa kalau “janur kuning” sudah ada yang mengatur. Bagaimana pun caranya, sudah ada yang dipasangkan. Pilihannya kita mau menjemput dengan cara yang baik atau yang tidak baik.

Lupa kalau setengah dien yang sekarang adalah tentang sikap, sifat, kemauan untuk belajar, kemauan untuk menjauhi yang mubah, kemauan untuk memperbaiki diri, kesungguhan untuk menjaga diri dari segala bentuk nasfu yang tidak penting, menjaga adab-adab dengan lawan jenis, memperbanyak kemanfaat diri untuk ummah dan masyarakat, memilih cara yang ahsan (baik) untuk menyempurnakan dien yang selanjutnya dll. Lupa juga kalau kesungguhan kita menyempurnakan dien yang sekarang (taqwa) adalah jalan terbaik untuk menyempurnakan dien yang selanjutnya.

Jadi bukankah setengah dien yang sekarang juga sangat penting? Bukankah ketaqwaan itu yang membuat setengah dien selanjutnya lebih bermanfaat untuk ummah?

Senorita
1026|21072014

Karena saya masih belajar, maka saya menulisnya


    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment