Nikah. Tema ini menjadi begitu laris manis. Apalagi dikalangan
aktivis yang mendukung nikah muda. Wait! Kali ini kita nggak akan bahas tentang
nikahnya. Sudah banyak yang membahas. Sudah mainstream. Nggak asyik. Pasaran. Hehehe.
Kali ini kita akan membahsa tentang setengah dien.
Terus apa bedanya dnegan nikah? Ya beda donk. Lupa ya? Bahwa ada setengah dien
lain yang harus kita tuntaskan selain setengah dien yang “itu”. Namanya taqwa.
Remember?
Yap, semakin kesini justru setengah dien yang ini
semakin terlupa. Tertelan hiruk pikuk kebingungan menggenapkan setengah dien
yang lain. Apakah setengah dien yang lain itu nggak penting? Penting donk. Tapi
apa lantas kita melupakan setengah dien lain yang memang sedari awal itulah
kewajiban kita? I don’t think so :D
Begini, saya sering menemukan teman-teman saya (mungkin
saya juga) lebih tersibukkan untuk full ikhtiar menggenapkan setengah dien yang
lain tapi menomor duakan taqwa. It’s mean, satu diprioritaskan, yang lain
diabaikan.
Butuh contoh?
Saya menemukan fenomena yang membuat saya miris.
Pertama dari laki-laki. Banyak yang mendapatkan julukan itong (ikhwan
sepotong), ikhwan playboy, ikhwan PHP, bakwan (bakal ikhwan) dan lain
sebagainya. Sebabnya satu, mereka sering “menggoda”akhwat-akhwat. Duh! Sedih
saya. Sebenci-bencinya saya dengan mereka (sikapnya terutama), tetap saja
mereka saudara saya.
Miris banget nggak sih, mereka yang nantinya punya
kewajiban menjadi imam keluarga justru jatuh hanya gegara hal yang sangat remeh
temeh seperti ini? Masalah hati! Helloo, kamu laki-laki mameennn!! Bahkan
kalian punya kesempatan yang sangat berlebih untuk menentukan hidup kalian.
Apalagi dengan budaya ketimuran Indonesia yang menempatkan laki-laki sebagai
pihak yang melamar bukan yang dilamar. So? Bukankah itu begitu simple? Upgrade
ilmu agama, pantaskan diri, mandiri ekonomi, pilih calon, lamar, nikah. Simple
sekali bukan?
Banyak yang terjebak dengan kata “pilih”. Entah! Saya
pun kadang nggak habis pikir. Kenapa laki-laki bisa begitu bergantungnya tidak
mau melepas perempuan (padahal si perempuan tidak bisa dinikahi dalam waktu
dekat). Apalagi kalau urusannya hanya hal fisik. Rawrrr! Pengen gue gaplok! Kamu
itu laki-laki brother! #balik ke pose kalem.
Nah! Disini ketaqwaan diuji. Banyak yang akhirnya
lebih memilih untuk mengejar “perempuan” sehingga melonggarkan syariat. Lupa
kalau perempuan yang baik hanya akan memilih laki-laki yang baik? Pertanyaan
selanjutnya, apakah tindakan mengejar-ngejar perempuan dengan cara melonggarkan
syariat itu ciri laki-laki yang baik? Silahkan jawab sendiri ya. #kalem
Bukan hanya dari pihak laki-laki, perempuan pun
sama. Sebagai perempuan pun saya masih sering mengutuki diri saya sendiri. Ketika
harus berinteraksi dengan teman-teman saya yang kebanyakan orang lapangan dan
orang gunung. Mereka (saya juga) yang lebih cenderung cuek dengan penilaian
orang lain. Bagi kami biasa saja, mungkin bagi orang lain sudah kelewatan. Hehehe.
Duh! Ampun Robbi!
Dari sisi perempuan banyak yang mudah membalikkan
prioritas. Masuk umur 20 tahun, semangat dan rasa itu mulai meletup. Keinginan untuk
terlihat “bening” itu selalu ada. Apalagi dihadapan lawan jenis. Trust me! Saya
perempuan, saya tahu betul tentang itu. Bagi yang tidak kuat menahan godaan,
dia akan “membeningkan diri” (istilah maksa).
Hingga akhirnya ketaqwaan yang jadi taruhan. Ketika ada
yang asal mendekat, langsung ditanggapi. Padahal sejatinyanya, kami para
perempuan tahu betul mana yang baik dan mana yang tidak. Maka tidak heran kalau
itong semakin menjamur, karena banyak atong.
Lupa kalau setengah dien itu bukan melulu urusan
janur kuning. Ada setengah dien lain yang tidak kalah penting. Tentang ketaqwaan
yang memang sudah kita janjikan kepada-Nya. Lupa kalau “janur kuning” sudah ada
yang mengatur. Bagaimana pun caranya, sudah ada yang dipasangkan. Pilihannya kita
mau menjemput dengan cara yang baik atau yang tidak baik.
Lupa kalau setengah dien yang sekarang adalah
tentang sikap, sifat, kemauan untuk belajar, kemauan untuk menjauhi yang mubah,
kemauan untuk memperbaiki diri, kesungguhan untuk menjaga diri dari segala
bentuk nasfu yang tidak penting, menjaga adab-adab dengan lawan jenis, memperbanyak
kemanfaat diri untuk ummah dan masyarakat, memilih
cara yang ahsan (baik) untuk menyempurnakan dien yang selanjutnya dll. Lupa
juga kalau kesungguhan kita menyempurnakan dien yang sekarang (taqwa) adalah
jalan terbaik untuk menyempurnakan dien yang selanjutnya.
Jadi bukankah setengah dien yang sekarang juga
sangat penting? Bukankah ketaqwaan itu yang membuat setengah dien selanjutnya
lebih bermanfaat untuk ummah?
Senorita
1026|21072014
Karena saya masih
belajar, maka saya menulisnya
Tidak ada komentar:
Write Comment