Kamis, November 27, 2014

Kami Masih Boleh Sekolah Lagi?

credit here

Percakapan 1
“Kenapa nggak jadi kuliah lagi?”
“Hmm..calon suamiku belum S2. Nggak enak.”

Percakapan 2
“Cari info S2 yuk”
“Nggak ah, takut ngak nikah-nikah. Takut nggak ada yang berani mendekati.”

Percakapan 3
“Eh, kamu lagi S2 ya?”
Mengangguk
“Hati-hati lho, nggak ada laki-laki yang berani mendekati”

Percakapan 4
“Emang mau dicariin yang gimana?”
“Ya yang sama minimal”
“Emang harus sama ya?”
“Ya namanya laki-laki biasanya carinya yang sama atau lebih rendah dibawahnya.”
“Oya? Dibawah apanya? Pendidikannya? Agamanya?”
“Keduanya”
Hening

Percakapan pertama dan kedua terjadi antara dua orang perempuan (bukan saya). Percakapan ketiga dan keempat antara seorang laki-laki dengan saudara perempuannya (bukan saya). Dua kejadian yang berbeda namun dari akar yang sama. Bahwa perempuan itu (masih) tabu berpendidikan tinggi.

Banyak dari perempuan kita yang takut untuk berpendidikan dengan sebab yang nggak banget. Merasa karena perempuan itu harus lebih dibawah dari laki-laki (kalimat ini harap dibaca dengan nada lembut ya. Jangan nada nge-rap. Saya nulisnya sambil senyum). Baik itu dari segi ilmu dan segi apapun. Duh, bentar sebelum banyak yang mikir aneh-aneh. Saya sedang baik-baik saja. Serius. Saya tidak sedang mendadak feminis. Tidak juga membenci laki-laki. Suer saya sedang baik-baik saja. Saya hanya sedih melihat kaum saya salah memilih niat. Yuk ah, saling ‘memaksa’ untuk menjadi lebih baik.

Apa iya cerdas itu hanya untuk laki-laki? (Judul ini juga dibaca dengan nada lembut ya J )

Sekali lagi saya sedang baik-baik saja. Sangat baik. Saya tidak akan menuliskannya dari sudut pandang laki-laki, sebab saya tidak cukup pandai menuliskan dari sudut pandang itu. Tapi saya ingin mencoba melihat dari sudut seorang perempuan yang nantinya akan menjadi madrasah pertama anaknya. Eh iya kan? Belum ada yang berpikir untuk menitipkan anaknya saat masih butuh ibunya kan? Anak ibu kan ya? Bukan anak simbah apalagi anak babysister kan?

Beberapa waktu lalu saya ikut diskusi tentang pertanian Indonesia. Lho apa hubungannya? Ada, bagi orang yang sadar akan potensi pertanian Negara ini, efek pertama yang akan dirasakan adalah marah luar biasa dilanjutkan dengan gemas karena tidak bisa berbuat apa-apa. Saat itu yang saya pikirkan adalah, seminar-seminar seperti ini tentang potensi Negara seperti ini harusnya diikuti banyak perempuan. Kenapa? Kembali kepada fungsi utama seorang perempuan yang akan menjadi madrasah pertama bagi anaknya. Seorang perempuanlah yang akan lebih banyak berinteraksi dengan anaknya. Perempuan juga  yang akan paling banyak mentransfer ilmu kepada anaknya. Bukan hanya ilmu, tapi juga rasa peka, toleransi, dan lain sebagainya. Menjadi sangat perlu dan wajib bagi seorang perempuan untuk tahu banyak hal, agar bisa memetakan potensi anak-anaknya. Menjadi hal yang wajib bagi seorang perempuan untuk menanamkan kepekaan dan kepedulian kepada anak-anaknya. Bukan sekedar kepada peminta dijalan, tapi juga tentang kepedulian kepada tanah kelahirannya. Anak-anak yang ditanamkan kepedulian sejak kecil inilah yang akan mewarisi tanah ini.

Ini baru satu sisi, masih ada banyak sisi kepedulian yang harus ditumbuhkan dari seorang anak dan itu harus dilakukan ibunya. Disisi lain, ilmu agama juga bukan ilmu yang bisa ditawar. Seorang perempuan harus lulus minimal pada hal-hal prinsip. Tidak terbayangkan kalau seorang perempuan masih percaya dengan dukun atau orang pintar saat kehilangan sesuatu. Kalau urusan remeh temeh saja masih seperti itu. Apalagi yang lainnya.

Saya pernah menangisi ini. Saat kost saya kemalingan, lalu tetiba ada salah seorang teman memanggil orang ‘pintar’. Datanglah orang pintar itu membawa segelas air. Disemburlah setiap sudut kamar yang dimasuki si maling. Duh Gusti, ampuni atas kesyirikan ini.

Lalu kenapa para lelaki harus takut ketika mendatangi wali perempuan yang (sepertinya) agamanya lebih baik? Percayalah, kalau memang agamanya benar-benar baik, setinggi apapun ilmunya, dia akan terus berusaha patuh kepada suaminya. Kalau dia masih sombong, berarti agamanya belum baik, dan tugasmu untuk memperbaikinya.

Lha kan cari ilmu nggak harus dengan sekolah lagi. Saya sangat sepakat dengan kalimat ini. Tapi, dengan catatan kalimat ini tidak digunakan untuk pembelaan saja. Dalam tulisan sebelumnya saya pernah membahas bahwa kita bukan hanya untuk diri kita. Kita ada untuk apa yang kita wakili. Mungkin bukan kita yang membutuhkan ilmu dan gelar itu. Tapi agama ini perlu. Agama ini perlu ibu-ibu yang berilmu lagi peka.  Dunia islam perlu untuk kembali punya stok-stok ilmuwan yang mampu berbicara dan menulis dengan ilmu.

Jujur saya agak takut menuliskan ini. Khawatir saya terlalu feminis. :D Berharap tulisan-tulisan semacam ini bukan perempuan yang menulis. Tapi dari para lelaki yang nantinya akan menjadi bapak dari anak-anak yang dibesarkan oleh para perempuan. Agar para perempuan tidak takut lagi untuk terus mencari ilmu.

Senorita
Arumdalu 1253

27112014

    Choose :
  • OR
  • To comment
1 komentar:
Write Comment
  1. Iya Je..jgn smpe buat pembelaan aja..karena sejatinya kita hidup hrs senantiasa belajar n belajar..sejujurnya aku mendamba bisa belajar bersama anakku..kasih lihat ke dia betapa menyenangkannya belajar, praktikum, dll..tp dihadapkan pd situasi n kondisi, sepertinya memang ga memungkinkan..ibu produktif yg msh ingin tetap bersama anaknya butuh usaha 2x lebih berat dibanding ibu produktif di ranah publik, dimana anaknya dititipkan..

    BalasHapus