credit here |
Percakapan 1
“Kenapa nggak jadi kuliah lagi?”
“Hmm..calon suamiku belum S2. Nggak enak.”
Percakapan 2
“Cari info S2 yuk”
“Nggak ah, takut ngak nikah-nikah. Takut nggak ada
yang berani mendekati.”
Percakapan 3
“Eh, kamu lagi S2 ya?”
Mengangguk
“Hati-hati lho, nggak ada laki-laki yang berani
mendekati”
Percakapan 4
“Emang mau dicariin yang gimana?”
“Ya yang sama minimal”
“Emang harus sama ya?”
“Ya namanya laki-laki biasanya carinya yang sama
atau lebih rendah dibawahnya.”
“Oya? Dibawah apanya? Pendidikannya? Agamanya?”
“Keduanya”
Hening
Percakapan pertama dan kedua terjadi antara dua
orang perempuan (bukan saya). Percakapan ketiga dan keempat antara seorang laki-laki dengan
saudara perempuannya (bukan saya). Dua kejadian yang berbeda namun dari akar yang sama.
Bahwa perempuan itu (masih) tabu berpendidikan tinggi.
Banyak dari perempuan kita yang takut untuk
berpendidikan dengan sebab yang nggak banget. Merasa karena perempuan itu harus
lebih dibawah dari laki-laki (kalimat ini harap dibaca dengan nada lembut ya.
Jangan nada nge-rap. Saya nulisnya sambil senyum). Baik itu dari segi ilmu dan
segi apapun. Duh, bentar sebelum banyak yang mikir aneh-aneh. Saya sedang
baik-baik saja. Serius. Saya tidak sedang mendadak feminis. Tidak juga membenci
laki-laki. Suer saya sedang baik-baik saja. Saya hanya sedih melihat kaum saya
salah memilih niat. Yuk ah, saling ‘memaksa’ untuk menjadi lebih baik.
Apa iya cerdas
itu hanya untuk laki-laki? (Judul ini juga dibaca dengan nada lembut ya J )
Sekali lagi saya sedang baik-baik saja. Sangat baik.
Saya tidak akan menuliskannya dari sudut pandang laki-laki, sebab saya tidak
cukup pandai menuliskan dari sudut pandang itu. Tapi saya ingin mencoba melihat
dari sudut seorang perempuan yang nantinya akan menjadi madrasah pertama
anaknya. Eh iya kan? Belum ada yang
berpikir untuk menitipkan anaknya saat masih butuh ibunya kan? Anak ibu kan ya?
Bukan anak simbah apalagi anak babysister kan?
Beberapa waktu lalu saya ikut diskusi tentang
pertanian Indonesia. Lho apa hubungannya? Ada, bagi orang yang sadar akan
potensi pertanian Negara ini, efek pertama yang akan dirasakan adalah marah
luar biasa dilanjutkan dengan gemas karena tidak bisa berbuat apa-apa. Saat itu
yang saya pikirkan adalah, seminar-seminar seperti ini tentang potensi Negara seperti
ini harusnya diikuti banyak perempuan. Kenapa? Kembali kepada fungsi utama
seorang perempuan yang akan menjadi madrasah pertama bagi anaknya. Seorang
perempuanlah yang akan lebih banyak berinteraksi dengan anaknya. Perempuan juga
yang akan paling banyak mentransfer ilmu
kepada anaknya. Bukan hanya ilmu, tapi juga rasa peka, toleransi, dan lain
sebagainya. Menjadi sangat perlu dan wajib bagi seorang perempuan untuk tahu
banyak hal, agar bisa memetakan potensi anak-anaknya. Menjadi hal yang wajib
bagi seorang perempuan untuk menanamkan kepekaan dan kepedulian kepada
anak-anaknya. Bukan sekedar kepada peminta dijalan, tapi juga tentang
kepedulian kepada tanah kelahirannya. Anak-anak yang ditanamkan kepedulian
sejak kecil inilah yang akan mewarisi tanah ini.
Ini baru satu sisi, masih ada banyak sisi kepedulian
yang harus ditumbuhkan dari seorang anak dan itu harus dilakukan ibunya. Disisi
lain, ilmu agama juga bukan ilmu yang
bisa ditawar. Seorang perempuan harus lulus minimal pada hal-hal prinsip.
Tidak terbayangkan kalau seorang perempuan masih percaya dengan dukun atau
orang pintar saat kehilangan sesuatu. Kalau urusan remeh temeh saja masih
seperti itu. Apalagi yang lainnya.
Saya pernah menangisi ini. Saat kost saya
kemalingan, lalu tetiba ada salah seorang teman memanggil orang ‘pintar’.
Datanglah orang pintar itu membawa segelas air. Disemburlah setiap sudut kamar
yang dimasuki si maling. Duh Gusti, ampuni
atas kesyirikan ini.
Lalu kenapa para lelaki harus takut ketika
mendatangi wali perempuan yang (sepertinya) agamanya lebih baik? Percayalah, kalau memang agamanya
benar-benar baik, setinggi apapun ilmunya, dia akan terus berusaha patuh kepada
suaminya. Kalau dia masih sombong, berarti agamanya belum baik, dan tugasmu
untuk memperbaikinya.
Lha kan cari ilmu nggak harus dengan sekolah lagi.
Saya sangat sepakat dengan kalimat ini. Tapi, dengan catatan kalimat ini tidak
digunakan untuk pembelaan saja. Dalam tulisan sebelumnya saya pernah membahas
bahwa kita bukan hanya untuk diri kita. Kita ada untuk apa yang kita wakili.
Mungkin bukan kita yang membutuhkan ilmu dan gelar itu. Tapi agama ini perlu.
Agama ini perlu ibu-ibu yang berilmu lagi peka. Dunia islam perlu untuk kembali punya
stok-stok ilmuwan yang mampu berbicara dan menulis dengan ilmu.
Jujur saya agak takut menuliskan ini. Khawatir saya
terlalu feminis. :D Berharap tulisan-tulisan semacam ini bukan perempuan yang
menulis. Tapi dari para lelaki yang nantinya akan menjadi bapak dari anak-anak
yang dibesarkan oleh para perempuan. Agar para perempuan tidak takut lagi untuk
terus mencari ilmu.
Senorita
Arumdalu
1253
27112014
1 komentar:
Write CommentIya Je..jgn smpe buat pembelaan aja..karena sejatinya kita hidup hrs senantiasa belajar n belajar..sejujurnya aku mendamba bisa belajar bersama anakku..kasih lihat ke dia betapa menyenangkannya belajar, praktikum, dll..tp dihadapkan pd situasi n kondisi, sepertinya memang ga memungkinkan..ibu produktif yg msh ingin tetap bersama anaknya butuh usaha 2x lebih berat dibanding ibu produktif di ranah publik, dimana anaknya dititipkan..
BalasHapus