Jumat, April 17, 2015

Ngobrolin Nikah Beda Harakah

Credit here
Tulisan ini baru saja mulai saya ketik saat jam sudah menunjukkan pukul 22.20 WIB. Ada sesuatu yang menggelitik yang ingin segera saya tuliskan. Tentang pernikahan beda harakah.

Dulu saya pernah ‘protes’, kenapa kita ‘tidak boleh’ menikah dengan yang berbeda harakah. Bukankah mereka juga muslim. Kenapa lebih banyak yang memilih menikah dengan yang ‘hanif’, bukankah ketika seseorang sudah memegang sebuah harakah sebagai sesuatu yang digunakan sebagai panutan dalam hidup itu artinya dia jauh lebih paham dari pada yang hanya sekedar hanif. Pikir saya waktu itu.

Saya tidak pernah menemukan jawaban yang pas dari senior dan teman-teman disekitar saya. Hingga akhirnya saya menemukan sendiri jawaban atas pertanyaan itu. Lebih tepatnya Allah memberikan jalan untuk saya tahu beberapa alasan kenapa akhirnya banyak yang memilih menikah dengan yang hanif dibandingkan dengan yang sudah berharakah. Jawaban itu tidak serta merta menggeser pemahaman saya bahwa menikah dengan yang berbeda harakah itu boleh, tidak ada masalah.
Ya itu memang boleh. Tapi…

Tapi ini yang kemudian membuat beragam pertimbangan muncul. Atas ijin Allah saya berkesempatan untuk bekenalan lebih dengan seseorang yang berbeda harakah. Hingga sekarang pun saya tidak pernah mempermasalahkan harakah yang beliau ikuti. Hanya saja….

Saya berhitung dengan beragam kemungkinan. Dari apa yang saya alami dan juga apa yang terjadi disekitar saya. Lintas harakah memang bukan masalah, namun berapa orang yang masih bisa berlapang dada atas perbedaan mulai dari tingkat memilih hiburan hingga tingkat hidup bernegara. Lebih-lebih perbedaan itu antara dua orang yang setiap hari ditemuinya, yang dia tanggung surga nerakanya. Bahkan dia ikut menanggung sebagian dari dosa yang dilakukan patner hidupnya.

Berapa orang yang sanggup menerima saat pasangannya asik mendengar musik, sedang baginya musik bahkan tepuk tangan itu haram hukumnya. Sebanyak apa mereka yang berani melihat pasangannya berdakwah menggunakan panggung sebagai medianya. Menampilkan teater, mendeklamasikan puisi, hingga menjadi sutradara atas sebuah pertunjukkan, sedang baginya muslimah yang baik adalah muslimah yang berdiam diri dirumah saja. Menjaga anak, melayani suami, tidak neko-neko. Bukan berarti mereka yang berkarya lalu keluarganya tertinggal, banyak contoh yang menunjukkan keberhasilan umahat milik ummat, mendidik putra putrinya menjadi penghafal bahkan disaat umur mereka masih belia.

Ya, ini tentang bagaimana mengolah rasa menerima tanpa memaksa. Menyadari ada beragam perbedaan yang harus dicari celahnya, bukan durinya. Bahwa para ulama mempunyai beberapa penafsiran, yang ditafsirkan dengan cara yang baik dan tentu saja shahih. Hanya tinggal kita memilih dari sudut pandang mana.

Kita ambil contoh tentang hiburan. Ada ulama yang mengharamkan musik sama sekali, namun ada yang sedikit melonggarkan. Selama musik tersebut tidak membawa keburukan, dan tidak melenakan dari Alquran, maka itu masih diperbolehkan. Lalu bagaimana bila ada ada dua orang, yang satu mengambil hukum haram, sedang yang lain mengambil hukum mubah (terlebih bila digunakan untuk media dakwah). Bisakah yang mengambil hukum haram, tidak marah-marah ketika melihat patner hidupnya mendengarkan nasyid?

Misal yang lain, tentang afiliasi politik. Ada yang bersikap dengan tegas bahwa berpolitik itu haram hukumnya. Tidak boleh sama sekali. Sedang patnernya menganggap bahwa ini adalah jalan menuju daulah islamiyah, menjadikan islam sebagai ustadziyatul alam. Bisakah yang menganggap bahwa politik itu sesuatu yang mubah, bersabar untuk tidak memaksa patnernya memilih ketika pemilu tiba? Juga kepada yang mengharamkan politik, bisakah bediam diri ketika melihat patner hidupnya berlelah-lelah ketika pemilu menjelang?

Sesuatu yang sedari awal disadari sebagai perbedaan apabila tidak disikapi dengan penerimaan yang bijak hanya akan membuat keretakan. Jadi, lintas harakah itu boleh? Tentu saja. Tapi, lebihkah dewasa, kuatkan rasa peka, kurangi memaksa. Dan tentu saja luruskan niat segera. Sebab masih banyak yang berniat lintas harakah hanya demi tujuan dangkal untuk memindahkan harakah calon patnernya.

Ummat ini sudah terlalu banyak masalah, tidak perlu kita menambahkan pengkotak-kotakkan lagi. Satu tubuh itu ketika satu bagian merasakan sakit maka yang lain akan mengusap agar menguap sakitnya. Sebab bila kau menyakiti saudaramu, itu artinya kau sedang menyakiti dirimu sendiri.

Arumdalu
17 April 2015
22.59
Sudah berlalu sekian waktu, apa kabarmu?

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment