Pernah merasa ingin beli ini
itu? Sudah punya banyak tas tapi tetap tergoda ketika melihat tas brand tertentu launching produk terbaru. Padahal dirumah sudah ada banyak tas
mulai dari ransel hingga tas tangan. Apalagi kalau yang nawarin sahabat dekat,
“Nggak enak kalau nggak beli”, padahal aslinya gengsi #ups. Atau kalau saya
seringnya merasa masih kurang piknik, padahal pekan kemarin baru saja pulang
dari naik gunung.
Lebih-lebih di akhir dan awal
tahun seperti ini, mall-mall seolah belomba untuk menuliskan tulisan besar dan
tebal, DISKON AKHIR TAHUN, HARGA CUCI
GUDANG. Alhasil, setiap datang ke pusat perbelanjaan, selalu ngiler kalau
lihat koleksi sepatu dengan label diskon 50%+20%. Belum lagi kalau ada ‘waktu
luang’, buka instagram akhirnya kepoin online shop. Mulai dari penjual gamis,
jilbab, hingga wajan. Padahal kalau dihitung-hitung, gamis di lemari sudah
lebih dari jumlah hari (ini belum rok dan baju atasan lho ya). Entah kapan mau
dipakai. Suratan takdir juga, wajan dan kawan-kawannya, plus gamis dan pasukkannya
adalah barang-barang yang genit
kedip-kedip menggoda. Belum lagi kalau ada temen yang ngajak jalan-jalan ke
toko outdoor, perlengkapan camping sejenis tenda, carrier, bahkan sandal
gunung, seolah.. ah sudahlah. Kalau kalimat terakhir ini, saya saja kali ya.
Saat kata maruk (begitu teman
saya menyebutnya) menjadi nama tengah, bersyukur saya berasal dari desa.
Disana, rumah berlantai keramik pun sudah dianggap ‘mewah’. Mobil? Hanya orang
tertentu yang punya, itu pun merk lama. Jangan tanya tentang kitchen set yang mewah, hampir setiap
rumah- termasuk di rumah saya- masih menggunakan tungku dari tanah. Sarjana?
Menjadi gelar ‘dewa’. Apalagi gelar master, simbahnya dewa kali ya.
Bersyukur juga saya –masih- hidup
di Jogja, beberapa kali melihat bapak-bapak tua memanggul dagangan mainan
tradisional yang entah siapa mau memainkannya. Juga sepasang orang tua yang
tiap hari selalu ada di perempatan kampus, meminta-minta.
Bersyukur juga, kini
teknologi bisa saya nikmati dengan segera. Ketika maruk mulai berkuasa, buka
google dan segera ketik keyword, penjual asongan, atau pedagang kaki lima,
kalau terlalu panjang, cukup ketik kata ‘rakyat’saja. Ubah ke pencarian gambar.
InsyaAllah ini menjadi rem yang pakem banget. Menjadikan nurani kembali juara.
Silakan dicoba, kalau masih kurang pakem, sepertinya kita harus pergi ke
bengkel :D.
Tidak boleh beli ini itu ya?
Bolehlah. Tapi gunakan logika
fungsi, bukan logika style. Logika fungsi akan mengarahkan kita untuk membeli
barang-barang yang ada fungsinya. Sedangkan logika style akan mengajak kita
terus masuk ke dunia model dan nafsu. Namun meskipun begitu, pastikan semua
sesuai porsinya, secukupnya. Memang wajan (kok wajan lagi sih je? -_-“) itu
perlu, tapi satu atau dua saja cukup kan? Lipstik memang butuh, tapi nggak perlu
kan kita mengoleksi semua warna? Lebih baik, uang yang 200 atau 500 ribu itu
ditabung. Bisa untuk tabungan dunia, bisa juga akhirat. Ganti-gantian aja.
Arumdalu,
29 Desember 2015 09.00 WIB.
Judul
dan inspirasi dari blog Mbak Mulki.
1 komentar:
Write CommentLogika style sama logika fungsi....hmmm boleh uga je...
BalasHapus