Selasa, Desember 08, 2015

Akhwat, Cantiklah!


Credit here
Judul ini saya ambil dari artikelnya mbak Sinta Yudisia. Tulisan ini pun terinspirasi dari tulisan beliau. Awalnya ingin copast ke blog ini langsung (dengan menyertakan sumbernya tentu saja), namun ada beberapa ‘pengalaman’ pribadi yang sepertinya menarik untuk dituliskan juga.

Saya mengenal sebutan ikhwan akhwat belum lama. Saat SMA, itu pun dengan pemahaman naïf ala anak SMA. Akhwat itu yang jilbabnya segambreng, ikhwan itu yang begini dan begitu. Bahkan saking naïf-nya kami waktu itu, sang ketua keputrian ROHIS dan sang mas’ul ‘debat’. Ketika itu saya jadi orang ketiganya.

Si Putri: “Akhwat itu ya muslimah. Pakai jilbab rapi.”

Si Putra : “Akhwat itu artinya perempuan.”

Si Putri : “Eh mana boleh begitu. Masa iya kalau ada perempuan yang baru keluar dari g***j*, mau kau sebut akhwat.”

Si Putra : “Tapi akhwat itu artinya perempuan,” ngotot nggak mau kalah.

SI Putri : “Masa iya kalau kamu lihat *gnes *onica habis manggung, kau mau bilang, si akhwat habis nge-dance.”

Akhirnya perdebatan itu tidak ada ujungnya. Si putra tetap pada pendiriannya, akhwat itu ya perempuan, titik. Begitu juga si putri, akhwat itu yang berjilbab lebar nan sholihah. Mungkin kalau keduanya mengingat debat waktu itu, mereka akan tersenyum tipis.

Masuk ke dunia perkuliahan, mindset saya tentang akhwat tidak berubah banyak. Sebab waktu itu jumlah muslimah yang berjilbab syari belum sebanyak sekarang, beredar dimana saja. Meskipun justru sekarang malah aneh. Atasnya jilbab lebar tapi jempol kaki masih kemana-mana.

Pertama kali menginjakkan kaki di kota pelajar, oleh kakak angkatan, saya diajak mencari kos. Ditawarinya saya, mau kos biasa atau kos akhwat. Saya pikir, asyik kali ya satu kos dengan orang-orang yang sudah paham penjagaan diri. Akhirnya oleh kakak angkatan saya tersebut saya diajak berkeliling kos akhwat sekitaran kampus.

Kos pertama

Nyaris roboh (agak lebay sih), banyak jamur di dinding kamar. Lantai bolong-bolong. Fiks, saya ilfeel. #nyengir

Kos Kedua

Begitu masuk, langsung disambut sekat dari kain tebal. Sekilas rapi (yak arena ditutup kain tebal), tapi begitu disingkat tirainya. What? Ini kos akhwat? Kok mirip gudang. #eh. Pojok kanan saya melihat rak piring yang dibawahnya ada setumpuk perkakas yang sepertinya tidak pernah dipakai. Di sudut yang lain ada gulungan kertas. Tidak jauh dari saya berdiri ada yang sedang menyetrika segunung cucian. Beranjak ke kamar mandi, disekitarnya ada banyak barang yang layaknya harus dirongsok.

Saya mringis, “Mbak, cari yang lain aja ya.” Rayu saya ke si pengantar.

Kondisi dua hunian itu membuat saya membuat mindset baru tentang akhwat, bukan cuma yang berjilbab lebar, tapi umbrus alias berantakan. Mungkin kalau nggak umbrus, kurang militan. Hahaha. Ditambah lagi sekitar 6 bulan kemudian saya berkunjung ke sebuah kos akhwat yang lain. Bagi saya itu bukan kos, tapi sejenis gua. Gelap, pengap, dan saya tidak mau berhitung jumlah kecoa yang hidup disana.

Saya sempat ‘demo’, nggak mau disebut akhwat. Hahahha

Sebuah koreksi: Mari Bercermin

Mungkin (mungkin lho ya), karena banyak yang agak unik mengartikan perintah jangan tabarruj. Hingga akhirnya membuat mindset, semakin tidak menarik lawan jenis, maka akhwat itu semakin sholihah. Yang penting kan apa yang ada di dalamnya, bukan bungkusnya. Atau pemahaman serupa. Akhirnya banyak akhwat yang kurang peduli dengan penampilan luarnya. Padahal, kalau lihat brownies dibungkus plastik kresek hitam bekas gorengan, kita juga ilfeel. Get my point?

1. Kaos kaki

Saya masih ingat betul teguran teman saya waktu itu, “Sijeee, aku nggak suka kamu pakai kaos kaki itu. Norak.”

Saya nge-freeze. Ada yang salah dengan kaos kaki saya? Meskipun saya tidak cukup mau memikirkan modis dalam berpakaian, tapi saya selalu menggunakan warna yang sepadan dalam berpakaian dan berkaos kaki. Kalau rok biru, pasti akan selalu saya pasangkan dengan kemeja dan jilbab senada. Juga kaos kaki, nggak jarang biru juga. Masih saya ingat, waktu itu saya pakai setelan warna biru dari atas sampai bawah.

Dan ternyata apa pasal? Sampai membuat teman saya gemes tingkat kecamatan?

Saya pakai kaos kaki garis-garis putih biru dengan ujung bagian jari berwarna pink. Hahaha, oke I know. Saya cuma nyengir, dan sejak saat itu kaos kaki tersebut berubah jadi lap. Padahal masih baru.

Tentang kaos kaki, saya sering mendapati banyak akhwat menggunakan kaos kaki yang otomatis bisa turun dengan sendirinya alias sudah molor. Nggak nyaman banget kan ya lihat beginian. Lebih ngegemesin lagi, ternyata di sela-sela kaos kaki yang molor itu, terselip warna kuning dan merah. Tahu apa? Yap karet gelang. Duh, jangankan obyek dakwah, saya yang sesama muslimah saja ilfeel.

Hei cantik, yuk nabung kaos kaki. Sebulan satu kaos kaki sepertinya tidak cukup berat. Mari museumkan kaos kaki longgar dan berlubang itu.

2. Jahitan Rok Lepas

Namanya juga aktivis. Sibuk banget kemana-mana. Sampai sampai nggak sadar jahitan di ujung rok yang mulai terlepas. Bagi yang ‘kreatif’, hal semacam ini jadi media kreasi. Disematkanlah peniti-peniti besar. Pikirnya simple, semakin besar peniti, semakin kuat. Waakss…!!

Hmm nitip perbaikan ke tukang jahit paling cuma 2000 kok. Yuk ah…

3. Bau Mulut

Ini juga masalah para yang rada-rada nggak elit. Biasanya dialami oleh mereka yang rajin puasa sunnah. Bukan menjelekkan puasanya sih. Tapiiii….. Nggak mungkin kan kita selalu bilang ke setiap orang kalau sedang puasa sunnah, jadi harap maklum kalau ada bau yang tidak sedap?

Sebaiknya kita juga sadar, bahwa mereka yang ada disekitar orang dengan masalah bau mulut, selalu kehabisan cara untuk menegur. Mau dikasih hadiah sikat gigi, takut menyinggung. Mau tutup hidung terus, nanti dikira nggak sopan.

So, rajin-rajinlah membersihkan gigi dan sekitarnya.

4. Bau Badan

Ini sebelas-dua belas dengan bau mulut. Bikin keki orang sekitar. Salah tingkah kalau mau negur. So, lebih baik kita pribadi yang tahu diri. Rajin-rajin mandi. Kalau perlu luluran satu pekan sekali. Toh harga lulur tradisional di pasar Bringharjo nggak sampai harga semangkok bakso. Kalau dirasa perlu tambahkan deodorant sebelum bepergian. Bukan agar orang lain membau wangi, tapi biar tetap segar dan kita juga percaya diri kalau bertemu orang lain.

5. Masalah dengan Kulit Wajah

Akhwat sekarang mungkin berbeda dengan akhwat dulu. Dulu, nggak ada tuh akhwat kenal dengan yang namanya produk kecantikan seperti *r**l*m*, atau produk kecantikan dari dokter tertentu. Sekarang, hampir semua sudah mengenal produk-produk tersebut.

Nah, buat yang masih ragu dengan produk-produk kecantikan di pasaran, bisa dicoba kembali ke cara-cara tradisional. Sesekali sempatkan waktu ke Pasar Bringharjo (atau pasar tradisional di kota tempat kuliah) los jamu. Disana ada banyak sekali ramuan rempah warisan budaya Indonesia. Harga? Murah meriah kok. Awet, apalagi kalau jarang dipakai. Hehehe

6. Perhatikan Pakaian

Tidak harus yang mewah bertabur kerlap kerlip. Yang penting syari dan menutup (bukan membungkus) aurat dengan baik. Hindari warna tabrakan, kasihan mata orang lain yang melihat. Pastikan jilbab terpasang rapi, tidak balapan antara daleman jilbab dan luaran. Pastikan tidak ada anak rambut yang mengintip. Kuncinya adalah rapi dan sesuai tempat. Nggak mungkin kan kuliah pakai baju tidur? Nah, you get my point!

Yang nggak boleh ketinggalan, perhatikan ujung gamis atau rok. Masihkah balapan sama celana panjang yang niatnya dijadiin 'pengaman' itu?

7. PD aja lagi

Sudah rapi? PD aja lagi.

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment