Senin, Desember 12, 2011

Episode pertama Sebuah pengakuan



Spesial untuk semua mahasiswa-mahasiswa yang pernah merangkai puisi persaudaraan bersamaku, hanya sebuah kata maaf yang ingin aku sampaikan, maaf kalau kejujuran ini baru bisa aku katakan hari ini. Bukan dulu aku tak mau, namun aku tak mampu.

Mungkin ini sudah masuk waktunya, aku mengakui segalanya. Mungkin saat ini adalah waktu yang tepat untuk aku membuka semuanya, sebelum kalian semua pergi, sebelum akhirnya kita semua terpisah melukis pelangi kita masing-masing.
Dulu aku sempat berfikir, mungkin biar saja aku yang tahu semua ini, dan kalian tidak tahu tentang apa yang terjadi, biarkan kalian tetap pada apa yang kalian fahamitetap pada apa yang kalian rasakan, tetap pada apa yang kalian prasangkakan. Namun entah, hari ini aku berfikir bahwa ada baiknya kalian tahu semua ini.

Akhir tahun 2007

Begitu menyenangkan menjadi angkatan paling muda di kampus, rasanya kuliah ini tidak ada akhirmya, ingin rasanya menjadi mahasiswa paling muda selamanya, namun aku sadar waktu akan terus bergulir. Dimulai dari sebuah rumah pelangi bernama HIMA KIMIA UNY. Kenapa aku menyebutnya rumah pelangi, karena hanya disini aku menemukan banyak warna yang akhirnya mewarnai hidupku. Meskipun terkadang ada warna yang kontras satu sama lain, mencolok mata dan menyakitkan, namun justru disini aku merasakan bahwa aku akan menjadi pelangi disini. Tidak banyak yang tahu, apa yang sebenarnya aku cari disini. Bahkan aku sendiri. Saat itu yang aku sadari adalah, aku punya keinginan untuk merubah yang mungkin saat itu aku juga belum tahu, apa yang ingin aku rubah, hanya saja aku ingin merubah, itu saja. Saat itu aku begitu ingin masuk ke dalam semua alur pengkaderan dan semua alur pengembangan diri di kampus, maka jangan heran kalau saat itu aku mendaftar ke semua jenjang pengkaderan dari tingkat jurusan hingga fakultas, bukan karena aku diminta di tempat itu, bukan karena aku terlihat menonjol untuk ditempatkan di sebuah tempat, namun jauh dari itu semua, jauh dari itu semua, aku bukan apa-apa. Aku belum tahu apapun waktu itu. Karena aku ingin belajar itu semua, karena aku butuh itu semua (dalam fikiranku waktu itu).

Kita mulai satu-satu, saat itu kita sama-sama di hima, jujur saja aku tidak pernah menyesal ditempatkan dimanapun, toh akhirnya juga kita bekerja bersama, namun sepertinya kau perlu tahu kisah saat itu. Sama seperti apa yang aku katakan di awal, bahwa aku ingin belajar pengembangan diri di kampus, itulah mengapa aku ingin masuk ke dunia pengembangan sumber daya manusia di hima. Jujur, aku ingin belajar, bukan karena aku membawa kepentingan apapun dengan jilbabku, aku tahu, dari awal aku berbeda, aku tahu dari awal aku terlihat ambisius untuk itu, aku tahu dan aku sadar bahwa dikampus kita ada pengelompokan-pengelompokan yang menurutku tidak berdasar. Saat itu aku ingin sekali berteriak, “AKU BUKAN KELOMPOK SIAPA-SIAPA”. Namun apa dayaku waktu itu, anak baru yang belum tahu apa-apa tentang dunia kampus, pasti hanya akan jadi bahan tertawaan, dianggap sedang bersandiwara dan lain sebagainya. Itulah alasannya kenapa aku dulu diam, aku mencoba tidak peduli dengan apa yang terjadi disekitarku. Itulah alasannya kenapa aku hanya mendengar dan tidak banyak bicara tentang apa yang dibicarakan banyak orang tentangku, atau tentang kelompok yang aku dianggap masuk kedalamnya hingga akhirnya akupun kena getahnya.

Setengah periode tahun selanjutnya

Aku tidak menyangka, aku benar-benar tidak menyangka. Aku dihadapkan dengan pilihan. Jujur saja, aku memang mempunyai rencana untuk mencoba semua jenjang di kampus ini. Mungkin salahya aku saat itu adalah, aku tidak menyampaikan itu kepada seseorang, aku rencanakan itu sendiri tanpa ada yang tahu, hingga akhirnya muncul bisik-bisik.

Aku tidak pernah mau dijadikan sebagai sebagai kepala departemen, karena aku tahu, ada amanah lain yang telah aku sanggupi. Namun saat tak ada yang lain yang mau disana, apa yang bisa aku lakukan, aku tak mungkin egois dengan mengikuti apa yang menjadi keinginanku saja. Akhirnya aku sanggupi, dengan resiko yang aku sama sekali tidak bisa meramalkannya. Aku masih ingat dengan sangat, ingin sekali aku marah kepada kalian waktu itu, aku dengar bisik-bisik kalian, kenapa kalian begitu tidak berperasaan, berbisik-bisik di depan orang yang kalian bicarakan. Apakah keadilan itu hanya untuk mereka yang merasa didzolimi, bagaimana dengan orang sepertiku yang tidak tahu apa yang sebenarnya kalian rasakan, haruskah aku selalu bertanya seperti apa perasaan kalian, lalu siapa yang akan bertanya padaku? Aku mencoba menjadi titik temu banyak pihak, namun justru akhirnya aku yang jadi tumbal untuk semua itu. Ingin dulu aku berkata pada kalian, bahwa aku disana bukan karena hasil lobi, aku memang akhirnya merangkap di dua empat yang boleh dikatakan keduanya strategis, dan aku disana karena aku mau dan mampu, bukan hanya sekedar aku di lobi oleh pihak-pihak tertentu. Aku akui, sebelum akhirnya aku menempati posisi itu, memang aku di lobi, namun pada kenyataanya aku yang ingin disana, aku yang merencanakan untuk disana, bukan mereka yang merencanakan, andai kalian tahu, aku adalah orang yang paling benci skenario atas diriku oleh orang lain. Jadi tidak ada alasannya aku untuk menerima lobi itu, itu hanya kebetulan, tidak lebih. Kebetulan saat itu aku mengarah ke tujuan yang sama dengan yang teman-teman kita rencanakan.

Betapa menyakitkan saat kalian menyangka aku ditempatkan disana, betapa menyakitkannnya saat kalian mengira aku disana karena aku bagian dari kelompok tertentu. Betapa menyakitkannya saat kalian berbisik-bisik di depanku, seolah-olah aku patung yang dapat berbicara. Sekeras apapun usahaku untuk meyakinkan kalian, tetap saja bisik-bisik itu tetap bertahan.

Manusia punya batas dimana dia bisa menampung apa yang dia rasakan. Aku tahu saat itu aku memang lari dari kalian, lari karena aku sudah tak sanggup lagi untuk bertemu kalian, lari karena aku tak mau lagi ada hati yang tersakiti untuk kesekian kalinya, apakah itu hatiku atau hati kalian. Lari karena aku sendiri sudah tak cukup mampu untuk mengendalikan kemarahanku, lari karena aku takut aku akan meledak ketika bertemu dengan kalian. Lari, karena disaat itu aku tak menemukan tempat lagi disisi kalian. Hingga akhirnya aku mencari tempat yang lain untuk berfikir. Meskipun aku tahu saat itu kalian sangat marah, kalian mungkin berfikir bahwa aku sepengecut itu, kalian mungkin berfikir aku lari dari tanggung jawab dan malah mencari tanggung jawab yang lain.


Saat itu hanya satu yang ada dalam pikiranku, aku ingin waktu segera berjalan lebih cepat, bukan untuk apapun, agar waktu bisa menelan kemarahanku dan kemarahanmu, agar waktu bisa mengubur rasa sakit yang aku dan kalian semua rasakan. Agar kita bisa kembali seperti yang dulu, menjadi kita yang tanpa rasa ingin saling me-, apakah itu saling mengungguli, menjatuhkan, dan lain sebagainya, karena aku tahu, kalian begitu berharga untukku.

    Choose :
  • OR
  • To comment
2 komentar:
Write Comment
  1. "..aku dengar bisik-bisik kalian, kenapa kalian begitu tidak berperasaan, berbisik-bisik di depan orang yang kalian bicarakan.." --> aku termasuk kalian gak ya..heuheuheu :)

    BalasHapus
  2. Sije Preman Sholihah14 Desember 2011 pukul 10.28

    y Gk ya...

    kasih tahu gak ya....

    BalasHapus