Selasa, Februari 07, 2012

Parameter Kebaikan Itu Tidak Hanya Diri Kita






Kita sering kali merasa kehilangan kesabaran saat menghadapi sesuatu yang menurut kita kurang pas dengan apa yang kita maksudkan. saat ada orang yang slow motion dalam bekerja, kita gregetan. Saat ada yang mikir jutaan kali (ini mah lebay)sebelum bergerak kita sebel bukan main. Kapan geraknya kalau mikir mulu, itu kata kita. Saat ada yang diam saja ketika ada masalah, padahal masalah begitu crowded, kita sewot. Tuh orang mikir gak sih, itu komentar kita. Padahal temen kita itu diem karena lagi mikir (gak tahu mikir apa, hehehehe).

Kita ambil contoh pertama. Saat kita butuh kerja ekstra cepat, ternyata kita disandingkan dengan orang yang slow motion. Alus banget, kita udah lari, dia hanya berjalan dengan anggun. Sudah dapat dipastikan reaksi dari diri kita adalah geram, gemes, gregetan hingga marah. Pikiran kita memberontak, ingin sekali teriak, “Kenapa sih jadi orang lelet banget?”. Padahal dalam hati lawan bicara kita, ingin juga berteriak, “kenapa jadi orang grusa-grusu sih”. Masing-masing punya parameter sendiri. Satu pihak menggunakan parameter bahwa cepat itu baik dan efektif. Pihak yang lain parameternya adalah alon-alon asal kelakon, pelan-pelan asal tercapai apa yang diinginkan. Keduanya bertujuan baik. Keduangan ingin masalahnya selesai. Hanya berbeda metode dan cara pelaksanaan.

Hal-hal seperti ini bisa kita temui di dunia organisasi. Kita akan sering menemukan realitas-realitas perbedaan saat berhadapan dengan pribadi orang lain. Akan menjadi akhir yang baik bila keduanya (bisa dua kelompok bisa dua individu) saling bisa mengerti, bahwa tiap-tiap orang punya karakter masing-masing. Akan menjadi jalan keluar yang baik apabila tiap orang saling mengerti bahwa tiap orang punya cara berfikir masing-masing. Sayangnya hal itu bukan sesuatu yang mudah untuk diupayakan

Sering kali kita menggunakan parameter pribadi untuk mengukur banyak hal. Apakah itu untuk menyelesaikan masalah, atau hanya sekedar melihat cara orang lain hidup. Padahal belum tentu, apa yang kita lakukan itu sesuai dengan cara yang sebenanrnya. Belum tentu parameter yang kita pakai adalah parameter terbaik yang pernah ada, bisa saja itu hanya kamuflase dari diri kita. Bagi orang lain bisa saja itu metode yang ceroboh atau malh salah.

Ada sebuah cerita yang ingin saya tuliskan disini. saat itu saya menjadi panitia sebuah acara recruitment sebuah lembaga regional di Jogjakarta. Panitia menggunakan nomor Hp saya untuk dijadikan salah satu contact person di pamflet pengumuman. Semua berjalan lancar saat diawal. “Kerusuhan” itu muncul di hari-hari terakhir pendaftaran. Saat itu panitia memberikan waktu sekitar 9 hari untuk peserta melengkapi syarat-syarat pendaftaran (salah satu syarat berupa tulisan). Hari-hari pertama, stand pendaftaran sepi, pesan yang masuk ke inbox saya juga sepi, bisa dihitung jari. Memasuki pertenghan waktu mulai terjadi insiden-insiden aneh yang menurut saya waktu itu tidak bisa dijelaskan (ini menurut parameter saya). Ada beberapa pesan yang masuk ke inbox saya yang isinya aneh-aneh, beberapa diantaranya ini,

“mas, stand-nya buka jam berapa ya?”

Saya dipanggil mas, karena contact person yang tertulis terbalik antara yang putra dan putri. Alhasil saya selalu dipanggil mas, dan teman saya yang juga menjdai contact person juga, dipanggil mbak.
Mungkin bagi yang tidak tahu, akan menganggap sms di atas baik-baik saja. Padahal di pamflet sudah cukup jelas tertulis dengan font yang cukup bisa dibaca bahwa stand dibuka dari jam 16.00 hingga 17.30. Itu belum seberapa, tanggal 27 Januari ada yang sms saya, bunyinya seperti ini,

Mas saya mau mengumpulkan syarat-syarat pendaftaran
Standnya ada dimana, saya dari tadi sudah muter2.

Reaksi saya saat itu hanya geleng-geleng, apakah setiap orang tidak ada yang baca pamphlet? Sudah jelas tertulis di pamphlet bahwa stand dibuka tanggal 28 Januari.
Dan berbagai macam sms lainnya yang saya fikir itu aneh. Sekali  lagi karena saya menggunakan parameter diri saya sendiri, bukan parameter orang lain yang berhubungan dengan kita.
Sepertinya kita butuh untuk menjadi pribadi out of the box, hingga akhirnya kita bisa melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang. Tidak seperti orang buta yang menilai gajah dari apa yang dia pegang, saat dia memegang ekor, maka dia bilang gajah itu kecil. Saat dia memegang gajah di telinganya, maka dia bilang gajah itu lebar dan pipih.

Nasehat untuk diri sendiri
Yogyakarta 7 januari 2012
5.41 am. 

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment