Kita sering kali merasa kehilangan kesabaran saat
menghadapi sesuatu yang menurut kita kurang pas dengan apa yang kita maksudkan.
saat ada orang yang slow motion dalam
bekerja, kita gregetan. Saat ada yang mikir jutaan kali (ini mah lebay)sebelum
bergerak kita sebel bukan main. Kapan geraknya kalau mikir mulu, itu kata kita.
Saat ada yang diam saja ketika ada masalah, padahal masalah begitu crowded, kita sewot. Tuh orang mikir gak
sih, itu komentar kita. Padahal temen kita itu diem karena lagi mikir (gak tahu
mikir apa, hehehehe).
Kita ambil contoh pertama. Saat kita butuh kerja
ekstra cepat, ternyata kita disandingkan dengan orang yang slow motion. Alus banget, kita udah lari, dia hanya berjalan dengan
anggun. Sudah dapat dipastikan reaksi dari diri kita adalah geram, gemes,
gregetan hingga marah. Pikiran kita memberontak, ingin sekali teriak, “Kenapa
sih jadi orang lelet banget?”. Padahal dalam hati lawan bicara kita, ingin juga
berteriak, “kenapa jadi orang grusa-grusu sih”. Masing-masing punya parameter
sendiri. Satu pihak menggunakan parameter bahwa cepat itu baik dan efektif. Pihak
yang lain parameternya adalah alon-alon
asal kelakon, pelan-pelan asal tercapai apa yang diinginkan. Keduanya bertujuan
baik. Keduangan ingin masalahnya selesai. Hanya berbeda metode dan cara
pelaksanaan.
Hal-hal seperti ini bisa kita temui di dunia
organisasi. Kita akan sering menemukan realitas-realitas perbedaan saat
berhadapan dengan pribadi orang lain. Akan menjadi akhir yang baik bila
keduanya (bisa dua kelompok bisa dua individu) saling bisa mengerti, bahwa
tiap-tiap orang punya karakter masing-masing. Akan menjadi jalan keluar yang
baik apabila tiap orang saling mengerti bahwa tiap orang punya cara berfikir
masing-masing. Sayangnya hal itu bukan sesuatu yang mudah untuk diupayakan
Sering kali kita menggunakan parameter pribadi
untuk mengukur banyak hal. Apakah itu untuk menyelesaikan masalah, atau hanya
sekedar melihat cara orang lain hidup. Padahal belum tentu, apa yang kita
lakukan itu sesuai dengan cara yang sebenanrnya. Belum tentu parameter yang
kita pakai adalah parameter terbaik yang pernah ada, bisa saja itu hanya
kamuflase dari diri kita. Bagi orang lain bisa saja itu metode yang ceroboh
atau malh salah.
Ada sebuah cerita yang ingin saya tuliskan disini.
saat itu saya menjadi panitia sebuah acara recruitment
sebuah lembaga regional di Jogjakarta. Panitia menggunakan nomor Hp saya
untuk dijadikan salah satu contact person
di pamflet pengumuman. Semua berjalan lancar saat diawal. “Kerusuhan” itu
muncul di hari-hari terakhir pendaftaran. Saat itu panitia memberikan waktu
sekitar 9 hari untuk peserta melengkapi syarat-syarat pendaftaran (salah satu syarat
berupa tulisan). Hari-hari pertama, stand pendaftaran sepi, pesan yang masuk ke
inbox saya juga sepi, bisa dihitung jari. Memasuki pertenghan waktu mulai
terjadi insiden-insiden aneh yang menurut saya waktu itu tidak bisa dijelaskan
(ini menurut parameter saya). Ada beberapa pesan yang masuk ke inbox saya yang
isinya aneh-aneh, beberapa diantaranya ini,
“mas, stand-nya buka jam berapa ya?”
Saya dipanggil mas, karena contact person yang tertulis terbalik
antara yang putra dan putri. Alhasil saya selalu dipanggil mas, dan teman saya
yang juga menjdai contact person juga,
dipanggil mbak.
Mungkin bagi yang tidak tahu,
akan menganggap sms di atas baik-baik saja. Padahal di pamflet sudah cukup
jelas tertulis dengan font yang cukup
bisa dibaca bahwa stand dibuka dari jam 16.00 hingga 17.30. Itu belum seberapa,
tanggal 27 Januari ada yang sms saya, bunyinya seperti ini,
Mas saya mau
mengumpulkan syarat-syarat pendaftaran
Standnya ada
dimana, saya dari tadi sudah muter2.
Reaksi saya saat itu hanya geleng-geleng,
apakah setiap orang tidak ada yang baca pamphlet? Sudah jelas tertulis di
pamphlet bahwa stand dibuka tanggal 28 Januari.
Dan berbagai macam sms lainnya yang saya
fikir itu aneh. Sekali lagi karena saya
menggunakan parameter diri saya sendiri, bukan parameter orang lain yang
berhubungan dengan kita.
Sepertinya kita butuh untuk menjadi pribadi
out of the box, hingga akhirnya kita
bisa melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang. Tidak seperti orang buta yang
menilai gajah dari apa yang dia pegang, saat dia memegang ekor, maka dia bilang
gajah itu kecil. Saat dia memegang gajah di telinganya, maka dia bilang gajah
itu lebar dan pipih.
Nasehat untuk diri sendiri
Yogyakarta 7 januari 2012
5.41 am.
Tidak ada komentar:
Write Comment