Pada akhirnya kita-saya- mulai
sedikit mengerti, bahwa kita memang berbeda. bukan karena kita tak ingin sama,
namun karena memang inilah yang sebenarnya. Belajar bermain peran dalam ebuah
panggung membuat saya belajar banyak. Sangat banyak. Inilah seni. Seni yang
berbeda. meskipun sekali dua kali saya
masih banyak menemukan kesamaan itu.
Beberapa waktu yang lalu saya
sempat ‘diskusi’ dengan seorang teman. Tentag penyelamatan sebuah organisasi. Organisasi
yang pernah saya ikuti. Ada apa? Kenapa perlu diselamatkan? Ya, ini sudah
hampir mendekati kritis. Beberapa rekan kita kini sudah mulai berbelok. Ah,
betapa bencinya sya membahas hal ini. ‘Bertempur’ dengan saudara sendiri, hanya
karena kita berbeda prisnsip, lalu tembok itu mulai menebal dengan sendirinya. Beda
prinsip? Ah, macam mana pula ini. Macam rumah tangga yang sudah diujung tanduk.
Selamatkan atau akan semakin amburadul dan akhinya hancur.
Banyak diantara kita memahami
bahwa seni itu tak terbatas. Selama ini menghibur orang, menyenangkan hati yang
melihat, maka itu bisa disebut seni. Bah, mana bisa seperti itu. kalau saya
senang melihat orang membunuh dengan mutilasi, apa iya akan disebut seni
membunuh orang? Atau kalau saya suka makan orang, apa iya akan disebut sebagai
seni makan orang? Contoh lain, kalau ada pengarang menulis tentang hal-hal yang
berbau erotisme yang kebablasan, apa iya itu masih bisa disebut seni? Dalam bentuk
fisik, apa iya tarian (maaf) telanjang, akan disebut seni? Seolah mudah
menganggap sesuatu itu sebagai seni. Lama-lam akan muncul istilas-istilah gila.
Seni kanibalisme, seni berbicara kasar, bahkan seni masuk neraka. Ups.
Salah satu contoh memahami seni
yang kebablasan adalah saat kita tidak membatasi tulisan kita. Saya pernah
mendengar teman saya bertanya dalam sebuah forum,
“Kenapa tulisan kita harus
dibatasi?”
Sebuah pertanyaan yang sebenarnya
dia sendiri bisa menjawabnya. Kenapa harus ada kode etik jurnalistik, kenapa
ada norma yang membatasi, kenapa tulisan kita harus bisa mengajak ke kebaikan,
bukan sebaliknya. Termasuk juga didalamnya, sebisa mungkin tidak membuat orang
lain berfikir ke arah yang tidak baik saat membaca tulisan kita.
Bagaimana kalau kita ingin
menuliskan sesuatu yang ada dikehidupan nyata? Dan ini sebuah kejelekan.
Sering sekali teman saya
menggunakan ‘dalil’ itu. ini hanya menggambarkan kehidupan sebenranya. Aku hanya
ingin menunjukkan kepada dunia luas bahwa ini lah yang sebenarnya yang terjadi.
Bahwa dikota ini ada praktek prostitusi, bahwa di kota ini banyak sekali
mahasiswi yang sudah tidak perawan dll. Tapi apa iya perlu sedetail itu
penggambarannya? Hingga akhirnya yang membaca berfikir gila untuk mencoba apa
yang kita tulis.
Saya yakin setiap orang punya
hati nurani. Setiap orang pasti tahu, apakah tulisan itu layak disebut tulisan
atau tidak. Itu saja.
Hal ini juga berlaku untuk
kontes-kontes di panggung teater. Beberapa hari sebelum pentas, banyak pemain
yang notabene akhwat, mulai gelisah. Sebabnya satu, mereka diminta untuk
menggunakan cepol jilbab-yang selama ini merekan anggap sebagai punuk unta-. Kurang
lebih beginilah percakapannya.
“Mbak, emang bener ya, besok kita
disuruh pakai cepol jilbab?”
“nggak tahu, pokoknya kau nggak
mau.”
“Ya, udah pakai jilbab yang untir-untir aja mbak, terus dimasukkin
kedalam jilbab” jawab salah seorang yang ada disana.
“Sama aja dek, sama aja itu
menyerupai punuk unta. Lalu apa bedanya teater kita dengan teater yang lain?”
Poin terakhir yang saya garis
bawahi. Apa sebenarnya yang membedakan kita dengan mereka. Hanya ada dua,
kebaikan dan keburukan. Tidak ada setengah baik, apalagi setengah buruk. Inilah
benang merahnya. Seni kita beda, meskipun sama-sama menarik. Hanya saja kita
masih sering kesulitan untuk menarasikan beda kita.
Kawanku, apa yang membedakanmu
dengan yang lain hingga menjadikanmu golongan yang sedikit?
Tidak ada komentar:
Write Comment