Kamis, Desember 27, 2012

Seni Kita Berbeda




Pada akhirnya kita-saya- mulai sedikit mengerti, bahwa kita memang berbeda. bukan karena kita tak ingin sama, namun karena memang inilah yang sebenarnya. Belajar bermain peran dalam ebuah panggung membuat saya belajar banyak. Sangat banyak. Inilah seni. Seni yang berbeda. meskipun sekali dua kali saya  masih banyak menemukan kesamaan itu.

Beberapa waktu yang lalu saya sempat ‘diskusi’ dengan seorang teman. Tentag penyelamatan sebuah organisasi. Organisasi yang pernah saya ikuti. Ada apa? Kenapa perlu diselamatkan? Ya, ini sudah hampir mendekati kritis. Beberapa rekan kita kini sudah mulai berbelok. Ah, betapa bencinya sya membahas hal ini. ‘Bertempur’ dengan saudara sendiri, hanya karena kita berbeda prisnsip, lalu tembok itu mulai menebal dengan sendirinya. Beda prinsip? Ah, macam mana pula ini. Macam rumah tangga yang sudah diujung tanduk. Selamatkan atau akan semakin amburadul dan akhinya hancur.

Banyak diantara kita memahami bahwa seni itu tak terbatas. Selama ini menghibur orang, menyenangkan hati yang melihat, maka itu bisa disebut seni. Bah, mana bisa seperti itu. kalau saya senang melihat orang membunuh dengan mutilasi, apa iya akan disebut seni membunuh orang? Atau kalau saya suka makan orang, apa iya akan disebut sebagai seni makan orang? Contoh lain, kalau ada pengarang menulis tentang hal-hal yang berbau erotisme yang kebablasan, apa iya itu masih bisa disebut seni? Dalam bentuk fisik, apa iya tarian (maaf) telanjang, akan disebut seni? Seolah mudah menganggap sesuatu itu sebagai seni. Lama-lam akan muncul istilas-istilah gila. Seni kanibalisme, seni berbicara kasar, bahkan seni masuk neraka. Ups.

Salah satu contoh memahami seni yang kebablasan adalah saat kita tidak membatasi tulisan kita. Saya pernah mendengar teman saya bertanya dalam sebuah forum,

“Kenapa tulisan kita harus dibatasi?”

Sebuah pertanyaan yang sebenarnya dia sendiri bisa menjawabnya. Kenapa harus ada kode etik jurnalistik, kenapa ada norma yang membatasi, kenapa tulisan kita harus bisa mengajak ke kebaikan, bukan sebaliknya. Termasuk juga didalamnya, sebisa mungkin tidak membuat orang lain berfikir ke arah yang tidak baik saat membaca tulisan kita.

Bagaimana kalau kita ingin menuliskan sesuatu yang ada dikehidupan nyata? Dan ini sebuah kejelekan.

Sering sekali teman saya menggunakan ‘dalil’ itu. ini hanya menggambarkan kehidupan sebenranya. Aku hanya ingin menunjukkan kepada dunia luas bahwa ini lah yang sebenarnya yang terjadi. Bahwa dikota ini ada praktek prostitusi, bahwa di kota ini banyak sekali mahasiswi yang sudah tidak perawan dll. Tapi apa iya perlu sedetail itu penggambarannya? Hingga akhirnya yang membaca berfikir gila untuk mencoba apa yang kita tulis.

Saya yakin setiap orang punya hati nurani. Setiap orang pasti tahu, apakah tulisan itu layak disebut tulisan atau tidak. Itu saja.

Hal ini juga berlaku untuk kontes-kontes di panggung teater. Beberapa hari sebelum pentas, banyak pemain yang notabene akhwat, mulai gelisah. Sebabnya satu, mereka diminta untuk menggunakan cepol jilbab-yang selama ini merekan anggap sebagai punuk unta-. Kurang lebih beginilah percakapannya.

“Mbak, emang bener ya, besok kita disuruh pakai cepol jilbab?”
“nggak tahu, pokoknya kau nggak mau.”
“Ya, udah pakai jilbab yang untir-untir aja mbak, terus dimasukkin kedalam jilbab” jawab salah seorang yang ada disana.
“Sama aja dek, sama aja itu menyerupai punuk unta. Lalu apa bedanya teater kita dengan teater yang lain?”

Poin terakhir yang saya garis bawahi. Apa sebenarnya yang membedakan kita dengan mereka. Hanya ada dua, kebaikan dan keburukan. Tidak ada setengah baik, apalagi setengah buruk. Inilah benang merahnya. Seni kita beda, meskipun sama-sama menarik. Hanya saja kita masih sering kesulitan untuk menarasikan beda kita.


Kawanku, apa yang membedakanmu dengan yang lain hingga menjadikanmu golongan yang sedikit?

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment