Credit here |
Sebenernya ini prinsip
masing-masing orang sih, tapi kalau tak pikir-pikir, bisa dihalalin kenapa juga
masih tetep keukeuh dengan yang haram atau setengah haram(emang ada? J)
Hla, ngemeng apa sih aye,
datang-datang tanpa komando, langsung cuap-cuap tentang yang halal.
Hayooo, ngaku yang pas awal
baca judul nih tulisan mikirin tentang dunia en I ka ha alias nikah?
Huuu..ketahuan
ntu, udah mupeng berat. Tapi apa daya, ingin hati memeluk gunung tapi tak ada
gunung yang dipeluk. Hihihi.
Kali ini aye pengin bahas
tentang sesuatu yang harus halal sebelum kita makan. Yup betul, ini tentang apa
yang akan masuk kedalam perut kita dan akan mengalir dalam darah kita. Hem,
bukan tentang memperolehnya (kapan-kapan boleh lah ya, kita bahas itu), bukan
juga tentang menggunakannya, tapi tentang sifat makanan yang kita makan. Pada
artikel kali ini, aye anggap para blogie sudang mudeng tata cara mendapatkan makanan yang halal dan thoyib. So, aye
cuma mau cuap-cuap tentang sifat kehalalannya.
“Je, emang harus ada label
halal MUI-nya ya?” Suatu hari seorang teman bertanya.
“Iyalah, kalau bukan sama MUI,
sama siapa lagi kita percaya.”
Ini hal yang paling sering
diremehkan oleh masyarakat kita. Nggak peduli ntu makanan dibuat n diolah dari
apa, asal enak, semuanya masuk perut. Kagak peduli ada label halalnya ape kagak
yang penting mak nyus. Padahal makanan yang tidak halal bisa merusak tubuh loh.
Percaya deh. Allah sudah ngasih petunjuk, pasti tuh petunjuk ada gunanya. Lha wong
petunjuk jalan yang bikinan polisi saja ada gunanya, apalagi petunjuk dari
Allah.
Kenapa kita harus percaya MUI?
Bagaimana kalau diluar negeri?
Karena hingga saat ini hanya
MUI-lah satu-satunya lembaga yang mempunyai tugas untuk memeriksa kehalalan
suatu produk makanan sebelum makanan tersebut beredar luas di masyarakat. Itu pun
sifatnya berkala, artinya sertifikat halal MUI hanya berlaku dalam jangka waktu
tertentu dan harus diperpanjang oleh si pemilik usaha makanan agar produk
makanannya tetap terjamin halal.
Banyak sekali makanan yang
beredar di masyarakat yang tidak berlabel halal MUI. Baik itu berupa makanan ringan
ataupun makanan berat seperti roti. Masih banyak juga pemilik rumah makan yang
masih ogah-ogahan untuk “menghalalkan” makanan mereka. Mungkin bagi mereka hal
itu nggak penting, toh juga tetep banyak yang berkunjung dan makan disana. Tapi,
bagi masyarakat hal ini penting untuk diperhatikan. Tidak ada satupun pihak
yang menjamin kehalalan suatu produk apabila produk tersebut belum berlabel
halal. Itu artinya ketika kita mengkonsumsi makanan tersebut, kita sudah
mengabaikan satu poin yang paling penting.
Adanya label halal selain label
halal MUI terkadang juga membuat masyarakat bingung. Siapa yang menjamin
kehalalan produk tersebut kalau label yang tertera adalah label halal “biasa”. Apakah
iya kita akan menuntuk pihak produsen? Kan keputusan ada pada diri kita
masing-masing, akan mengkonsumsi atau tidak.
Lha, kalau lagi merantau di LN
gimane donk. masak kita puasa terus tiap hari. Udah gitu bukanya cuma pake air
putih (paling mudah mengidentifikasi kehalalannya). Hihihi, nggak perlu sewot
kali, meskipun di LN nggak ada MUI, tapi di setiap Negara pasti punya kebijakan
sendiri dalam mengatur makanan yang beredar di Negara masing-masing.
Lha kalau ternyata kita hidup
di Negara yang o`on alias nggak mudeng konsep halal haram piye? Cara terbaik
adalah membuat atau mencari komunitas islam disana. Bisa dipastikan komunitas
tersebut tahu makanan apa saja yang layak untuk dikonsumsi atau tidak.
Nah kalau sudah tahu konsepnya,
sekarang tinggal pelanksanaannya. Cek kembali persediaan buat hibernasi di
lemari makan. Adakah yang masih berlabel halal “biasa” atau malah jangan-jangan
ada yang GJ, kagak tahu tuh halal apa haram.
Yuk dihalalin.
Tidak ada komentar:
Write Comment