Minggu, Juli 21, 2013

Menikah Bukan Akhir Segalanya

Cedit here
Kenapa tiba-tiba terpikirkan kalimat ini?

Kenapa ya?

Jawaban yang paling mendekati tepat, mungkin karena saya sedang belajar mempersiapkan sesuatu. Melihat banyak fenomena yang ada, membuat saya ragu. Rasanya masih ingin menggapai banyak hal. Pergi ke banyak tempat. Mencicipi banyak kuliner dari berbagai belahan daerah. Berkenalan dengan banyak orang. Tapi tiba-tiba saya dihadapkan dengan berbagai situasi dan kondisi. Satu hal yang harus segera dipersiapkan. Belajar dewasa (tapi tetap punya sifat anak-anak).

Lahir di sebah desa, hingga tumbuh remaja di desa membuat saya menilai sesuatu dengan presepsi sedikit ndeso. Melihat banyak saudara-saudara perempuan saya yang menyesaikan ‘hidupnya’ dengan paksa dengan pernikahan. (Akhirnya disebut juga kata itu :D)

Dulu yang awalnya bekerja sebelum menikah, mau merawat diri setelah menikah, lalu berubah kebalikannya. STOP bekerja. Nggak pernah merawat diri. Yang dulunya enak dilihat, sekarang jangan ditanya seperti apa rupanya. Seolah dunianya berhenti berputar. Nggak ada karya. Pendidikan anaknya pun juga nggak terlalu bagus. Banyak anak-anak mereka yang tumbuh dengan ingus yang meler dari hidungnya tiap hari. Mendapatkan rangking paling bontot di kelasnya. Biasa mengucapkan kata-kata kotor dalam kesehariannya. Semua benar-benar terhenti. Seampuh itukah pernikahan membunuh potensi perempuan?

Lalu saya melihat seorang saudara dekat saya. Beliau menikah belum lama. Baru tujuh tahun. Dia yang dulu sering mengkritik ibu-ibu yang jarang merawat diri karena sudah terlalu sibuk dengan dunia rumah tangga, kini dia juga nggak jauh beda. Karma kah? Ah, saya jadi takut untuk berkomentar. Jangan-jangan nanti saya pun akan begitu. Semoga tidak.

Lalu apa sebabnya? Kenapa bisa begitu?

Nggak ada yang salah dengan urusan rumah tangga. Nggak ada yang salah juga dengan mendidik anak. Bagaimana pun dia lahir dari rahim seorang perempuan. Maka sudah pasti dia lebih dekat dengan ibunya. Hingga akhirnya si ibu menjadi madrasah pertamanya. Tapi percayalah Allah memberikan tanggungjawab mendidik anak kepada sang ayah, bukan sang ibu. Silahkan cek hadistnya. (catatan untuk para laki-laki!). Lalu, apakah itu akhir dari segalanya?

Jujur saja, saya bukan orang feminis. Tapi saya juga nggak sepakat kalau perempuan itu sama sekali nggak boleh berkarya apapun selain di rumah. Nggak boleh mencari ilmu di luar, apalagi kalau sudah punya anak. Seolah potensi hidupnya selesai disana.

Apa iya mau menyalahkan keadaan? Misalnya, dia menikah sebelum sempat kuliah lanjut. Rencananya, ingin lanjut kuliah setelah menikah. Tapi ternyata, sekian bulan setelah menikah, hamil. Bukankah itu berkah juga. 9 bulan 10 hari ditambah 2 tahun menyusui.

Setelah itu diniatkan untuk kuliah lanjut, ternyata hamil anak kedua. Bukankah ini berkah juga? Tapi bukankah ini menghambat rencana sebelumnya?

STOP!

Saya tidak akan membahas banyak tentang itu. takutnya malah banyak yang takut untuk punya anak. Anak dianggap sebagai penghalang.

Saya akhirnya mencoba mengerti melalui kisah saudara saya yang lain. Dosen di almamater saya. seorang umahat. Kini sedang merampungkan S3-nya. Beliau sudah punya anak. bisa dibilang bukan anaknya bukan tipe yang kalem dan pendiam. Tapi, beliau bisa melnjutkan kuliahnya, sampai S3. Kalau kisahnya seperti ini, apa iya kita masih menyebut bahwa pernikahan adalah akhir dari segalanya?

Saya hanya menyayangkan banyak saudara laki-laki saya yang kemudian menjadi penghalang istrinya untuk mengembangkan potensinya. Mereka tidak mengijinkan untuk keluar rumah dalam rangka berkarya. Ikut seminar atau hadir di majelis ilmu juga tidak boleh. Hanya boleh dirumah. Menjaga rumah, mendidik anak. Mungkin mereka lupa, bahwa seorang ibu sekali pun perlu di up-grade dan meng-up grade kapasitasnya. Mereka juga perlu bekerja, tentu saja bukan semata-mata untuk mencari nafkah. Bukankah nafkah itu kewajiban suami. Tapi lebih untuk menjaga kemandirian. Agar dia tetap bisa tegar saat misalnya Allah mengambil suaminya. Bukankah anak-anak masih punya masa depan. Dan kalau untuk menikah lagi, perempuan tidak semudah laki-laki. Yang bisa dengan mudah menjatuhkan pilihan kepada ‘wanita lain’ setelah istrinya meninggal. (fenomena yang ada mengatakan begitu)

Menikah bukan akhir segalanya. Ya, memang begitu seharusnya. Menikah adalah mengumpulkan dua potensi menjadi satu. Itu artinya, ada hal lain yang seharusnya dihasilkan (bukan hanya anak!). Penjagaan yang lebih. Karya yang lebih baik. Masyarakat yang lebih madani. Potensi yang lebih dan selalu terasah. Dan lain sebagainya. Pastinya, semua itu masih terbingkai dalam ketaatan seorang istri kepada suaminya. Ketaatan keluarga pada Rabbnya.

NB: Saya kira para umahat-umahat lebih berhak untuk menuliskannya dibandingkan dengan saya yang masih belajar. :D


    Choose :
  • OR
  • To comment
1 komentar:
Write Comment