Cedit here |
Kenapa ya?
Jawaban yang paling mendekati tepat, mungkin karena saya
sedang belajar mempersiapkan sesuatu. Melihat banyak fenomena yang ada, membuat
saya ragu. Rasanya masih ingin menggapai banyak hal. Pergi ke banyak tempat. Mencicipi
banyak kuliner dari berbagai belahan daerah. Berkenalan dengan banyak orang. Tapi
tiba-tiba saya dihadapkan dengan berbagai situasi dan kondisi. Satu hal yang
harus segera dipersiapkan. Belajar dewasa (tapi tetap punya sifat anak-anak).
Lahir di sebah desa, hingga tumbuh remaja di desa membuat
saya menilai sesuatu dengan presepsi sedikit ndeso. Melihat banyak saudara-saudara perempuan saya yang
menyesaikan ‘hidupnya’ dengan paksa dengan pernikahan. (Akhirnya disebut juga
kata itu :D)
Dulu yang awalnya bekerja sebelum menikah, mau merawat diri
setelah menikah, lalu berubah kebalikannya. STOP bekerja. Nggak pernah merawat
diri. Yang dulunya enak dilihat, sekarang jangan ditanya seperti apa rupanya. Seolah
dunianya berhenti berputar. Nggak ada karya. Pendidikan anaknya pun juga nggak
terlalu bagus. Banyak anak-anak mereka yang tumbuh dengan ingus yang meler dari
hidungnya tiap hari. Mendapatkan rangking paling bontot di kelasnya. Biasa mengucapkan
kata-kata kotor dalam kesehariannya. Semua benar-benar terhenti. Seampuh itukah
pernikahan membunuh potensi perempuan?
Lalu saya melihat seorang saudara dekat saya. Beliau menikah
belum lama. Baru tujuh tahun. Dia yang dulu sering mengkritik ibu-ibu yang
jarang merawat diri karena sudah terlalu sibuk dengan dunia rumah tangga, kini
dia juga nggak jauh beda. Karma kah? Ah, saya jadi takut untuk berkomentar. Jangan-jangan
nanti saya pun akan begitu. Semoga tidak.
Lalu apa sebabnya?
Kenapa bisa begitu?
Nggak ada yang salah dengan urusan rumah tangga. Nggak ada
yang salah juga dengan mendidik anak. Bagaimana pun dia lahir dari rahim
seorang perempuan. Maka sudah pasti dia lebih dekat dengan ibunya. Hingga
akhirnya si ibu menjadi madrasah pertamanya. Tapi percayalah Allah memberikan
tanggungjawab mendidik anak kepada sang ayah, bukan sang ibu. Silahkan cek
hadistnya. (catatan untuk para
laki-laki!). Lalu, apakah itu akhir dari segalanya?
Jujur saja, saya bukan orang feminis. Tapi saya juga nggak
sepakat kalau perempuan itu sama sekali nggak boleh berkarya apapun selain di
rumah. Nggak boleh mencari ilmu di luar, apalagi kalau sudah punya anak. Seolah
potensi hidupnya selesai disana.
Apa iya mau menyalahkan keadaan? Misalnya, dia menikah
sebelum sempat kuliah lanjut. Rencananya, ingin lanjut kuliah setelah menikah. Tapi
ternyata, sekian bulan setelah menikah, hamil. Bukankah itu berkah juga. 9
bulan 10 hari ditambah 2 tahun menyusui.
Setelah itu diniatkan untuk kuliah lanjut, ternyata hamil
anak kedua. Bukankah ini berkah juga? Tapi bukankah ini menghambat rencana
sebelumnya?
STOP!
Saya tidak akan membahas banyak tentang itu. takutnya malah
banyak yang takut untuk punya anak. Anak dianggap sebagai penghalang.
Saya akhirnya mencoba mengerti melalui kisah saudara saya
yang lain. Dosen di almamater saya. seorang umahat. Kini sedang merampungkan S3-nya.
Beliau sudah punya anak. bisa dibilang bukan anaknya bukan tipe yang kalem dan pendiam. Tapi,
beliau bisa melnjutkan kuliahnya, sampai S3. Kalau kisahnya seperti ini, apa
iya kita masih menyebut bahwa pernikahan adalah akhir dari segalanya?
Saya hanya menyayangkan banyak saudara laki-laki saya yang
kemudian menjadi penghalang istrinya untuk mengembangkan potensinya. Mereka tidak
mengijinkan untuk keluar rumah dalam rangka berkarya. Ikut seminar atau hadir
di majelis ilmu juga tidak boleh. Hanya boleh dirumah. Menjaga rumah, mendidik
anak. Mungkin mereka lupa, bahwa seorang ibu sekali pun perlu di up-grade dan
meng-up grade kapasitasnya. Mereka juga perlu bekerja, tentu saja bukan
semata-mata untuk mencari nafkah. Bukankah nafkah itu kewajiban suami. Tapi lebih
untuk menjaga kemandirian. Agar dia tetap bisa tegar saat misalnya Allah
mengambil suaminya. Bukankah anak-anak masih punya masa depan. Dan kalau untuk
menikah lagi, perempuan tidak semudah laki-laki. Yang bisa dengan mudah
menjatuhkan pilihan kepada ‘wanita lain’ setelah istrinya meninggal. (fenomena
yang ada mengatakan begitu)
Menikah bukan akhir segalanya. Ya, memang begitu seharusnya.
Menikah adalah mengumpulkan dua potensi menjadi satu. Itu artinya, ada hal lain
yang seharusnya dihasilkan (bukan hanya anak!). Penjagaan yang lebih. Karya
yang lebih baik. Masyarakat yang lebih madani. Potensi yang lebih dan selalu
terasah. Dan lain sebagainya. Pastinya, semua itu masih terbingkai dalam
ketaatan seorang istri kepada suaminya. Ketaatan keluarga pada Rabbnya.
NB: Saya kira para umahat-umahat lebih berhak untuk
menuliskannya dibandingkan dengan saya yang masih belajar. :D
1 komentar:
Write CommentSaya nyimak saja ulasan tentang menikah ini
BalasHapus