Hidayah itu
pemberian. Hak mutlak Allah, kepada siapa pemberian itu hendak disampaikan.
Kita hanya bisa berharap, tapi tidak bisa memaksa. Bahkan seorang paman nabi,
istri nabi, atau anak nabi sekalipun. Alhamdulillah kalau terpilih, tapi jika
tidak, kita tidak punya kuasa apa-apa.
Mau ngapain? Nyuri hidayah? Bisulan aja kita udah hilang percaya diri.
Kita mah lemah tanpa kekuatan dariNya.
Lalu
gimana? Santai ongkang-ongkang kaki aja? Doing
nothing?
Kita belum
di surga mamen. Yang hanya dengan mbatin aja semua kebutuhan kita
terpenuhi. Ibarat kata baru mikir pengen minum es cincau, enggak perlu nanam
dulu. Ah semoga disana ada sungai es cincau *nyengir. Atau tetiba muncul
sepiring lotek begitu dikepala terlintas ingin makan apa. Kita masih di dunia
yang apa-apa harus kita usahakan. Sebisa mungkin memantaskan diri, dan bersiap
untuk menerima hidayah. Bukankah semua hal itu datang ketika kita sudah siap.
Meskipun kalau ditanya kesiapan, banyak orang yang sebenarnya tidak siap. Tapi
seklai lagi hidayah itu pemberian. Suka-suka si pemberi mau menyampaikan kapan
saja.
Memantaskan
diri disini semacam puzzle yang harus
kita rangkai sendiri. Butuh strategi. Tapi cukupkah dengan strategi? No! Butuh
bekal. Butuh kesiapan mental. Lebih-lebih kita tidak pernah tahu seberapa lama
pekerjaan menyusun ini. Enggak tahu juga apakah semua akan baik-baik saja atau
bagaimana. Banyak halangan yang harus dihalau selama perjalanan bukan.
Setelah
pemberian itu kita terima, ketika sudah ngiler pengen tahu isinya, apakah pasti
isinya tidak terkunci? Belum tentu. Bisa saja Allah masih menggenggam kunci
itu. Dan sekali lagi kita harus memantaskan diri, meminta bahkan menggerung
untuk mendapatkan kunci itu.
Sebab itu,
tidak perlu heran ketika masih ada orang berilmu tapi ahli maksiat. Kenapa ada
professor dalam bidang kesehatan yang masih sembarangan makan hingga akhirnya
jadi penyakitan. Saat masih juga kita
temui pemudi-pemudi yang berjilbab jejingkrakan di tribun konser dan heboh
minta foto selfie dengan jarak yang
amat lekat ketika bertemu tim nasyid idolanya. Bahkan ada juga yang reflek
memeluk Fedi Nuril ketika ada acara
jumpa fans atau sejenisnya. Atau kecewa ketika menemukan orang-orang dulu kita
anggap guru nan alim mendadak jadi begitu lugas dan terbuka bercerita teknis
menyusui bayinya lengkap dengan gambaran-gambaran berlebihan yang membuat siapa
saja bisa membayangkan, di media sosial dimana ada kaum bapak yang juga
mengintip disana. –Sungguh, maafkan kami
untuk yang terakhir ini-
Karena
memang antara jumlah ilmu dengan tingkat amalan seseorang bukanlah fungsi
linear. Maka itu ada yang namanya proses saling mengingatkan.
Jadi, yuk
saling dan sama-sama. Belajar, berusaha, membersihkan hati, berdoa,
mengingatkan saudaranya dengan lembut. Agar hidayah itu datang dan tergenggam,
hingga saatnya pulang.
Sije
Arumdalu 26 Oktober 2016
Tidak ada komentar:
Write Comment