Kamis, Oktober 27, 2016

Sebuah Pemberian


Hidayah itu pemberian. Hak mutlak Allah, kepada siapa pemberian itu hendak disampaikan. Kita hanya bisa berharap, tapi tidak bisa memaksa. Bahkan seorang paman nabi, istri nabi, atau anak nabi sekalipun. Alhamdulillah kalau terpilih, tapi jika tidak, kita tidak punya kuasa apa-apa.  Mau ngapain? Nyuri hidayah? Bisulan aja kita udah hilang percaya diri. Kita mah lemah tanpa kekuatan dariNya.

Lalu gimana? Santai ongkang-ongkang kaki aja? Doing nothing?

Kita belum di surga mamen.  Yang hanya dengan mbatin aja semua kebutuhan kita terpenuhi. Ibarat kata baru mikir pengen minum es cincau, enggak perlu nanam dulu. Ah semoga disana ada sungai es cincau *nyengir. Atau tetiba muncul sepiring lotek begitu dikepala terlintas ingin makan apa. Kita masih di dunia yang apa-apa harus kita usahakan. Sebisa mungkin memantaskan diri, dan bersiap untuk menerima hidayah. Bukankah semua hal itu datang ketika kita sudah siap. Meskipun kalau ditanya kesiapan, banyak orang yang sebenarnya tidak siap. Tapi seklai lagi hidayah itu pemberian. Suka-suka si pemberi mau menyampaikan kapan saja.

Memantaskan diri disini semacam puzzle yang harus kita rangkai sendiri. Butuh strategi. Tapi cukupkah dengan strategi? No! Butuh bekal. Butuh kesiapan mental. Lebih-lebih kita tidak pernah tahu seberapa lama pekerjaan menyusun ini. Enggak tahu juga apakah semua akan baik-baik saja atau bagaimana. Banyak halangan yang harus dihalau selama perjalanan bukan. 

Setelah pemberian itu kita terima, ketika sudah ngiler pengen tahu isinya, apakah pasti isinya tidak terkunci? Belum tentu. Bisa saja Allah masih menggenggam kunci itu. Dan sekali lagi kita harus memantaskan diri, meminta bahkan menggerung untuk mendapatkan kunci itu.

Sebab itu, tidak perlu heran ketika masih ada orang berilmu tapi ahli maksiat. Kenapa ada professor dalam bidang kesehatan yang masih sembarangan makan hingga akhirnya jadi penyakitan.  Saat masih juga kita temui pemudi-pemudi yang berjilbab jejingkrakan di tribun konser dan heboh minta foto selfie dengan jarak yang amat lekat ketika bertemu tim nasyid idolanya. Bahkan ada juga yang reflek memeluk  Fedi Nuril ketika ada acara jumpa fans atau sejenisnya. Atau kecewa ketika menemukan orang-orang dulu kita anggap guru nan alim mendadak jadi begitu lugas dan terbuka bercerita teknis menyusui bayinya lengkap dengan gambaran-gambaran berlebihan yang membuat siapa saja bisa membayangkan, di media sosial dimana ada kaum bapak yang juga mengintip disana.  –Sungguh, maafkan kami untuk yang terakhir ini-

Karena memang antara jumlah ilmu dengan tingkat amalan seseorang bukanlah fungsi linear. Maka itu ada yang namanya proses saling mengingatkan.

Jadi, yuk saling dan sama-sama. Belajar, berusaha, membersihkan hati, berdoa, mengingatkan saudaranya dengan lembut. Agar hidayah itu datang dan tergenggam, hingga saatnya pulang.

Sije

Arumdalu 26 Oktober 2016

    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write Comment